REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pokja Infeksi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dr Erlina Burhan mengatakan, ada kemungkinan penderita long COVID-19 membutuhkan perawatan ulang. Perawatan dibutuhkan apabila gejala berkembang menjadi kondisi berat.
"Umumnya ringan tetapi 5 persen dikatakan ada kemungkinan menjadi progresif, menjadi berat bahkan perlu perawatan ulang karena long COVID," kata Erlina dalam gelar wicara Waspada Mutasi Virus Dengan Protokol Kesehatan di Jakarta, Kamis (30/9).
Erlina menuturkan, long COVID-19 adalah para penyintas COVID-19 atau orang yang sudah sembuh COVID-19. Namun, masih mengalami gejala sisa seperti batuk, sesak, rasa mudah lelah, sakit kepala, badan atau otot nyeri.
"Long COVID ini adalah para penyintas yang sudah sembuh artinya hasil PCR-nya negatif tetapi kemudian masih mengalami gejala sisa, jadi kadang-kadang masih batuk masih sesak," ujarnya.
Erlina mengatakan, sebagian besar pasien yang mendatanginyamengaku mengalami gejala kelelahan yang mana biasanya bisa berlari 1-2 Km tiap hari, namun jalan sejauh 200 meter saja sudah merasa lelah dan sesak. Erlina menuturkan, biasanya gejala-gejala long COVID-19 ditemukan pada pasien yang dirawat dengan derajat penyakit yang berat atau kritis.
"Tapi kalau pada OTG (orang tanpa gejala) atau yang ringan-ringan saja, jarang kita menemukan gejala-gejala long COVID ini," ujarnya.
Di samping itu, ia menuturkan badai sitokin yang menimpa para penderita COVID-19 juga menyebabkan kerusakan pada sistem organ lain, sehingga para penyintas COVID-19 butuh waktu untuk pemulihan. Erlina mengatakan, pada fenomena long COVID-19, masing-masing orang memiliki durasi pemulihan yang berbeda, ada yang bisa pulih dalam rentang waktu 4-12 pekan.
Namun, ada juga yang di atas 12 pekan, bahkan enam bulan masih mengalami gejala sisa atau long COVID-19. Namun, pada sebagian besar kasus, akan kembali pulih menjadi seperti semula yang mana gejala sisa tersebut hilang sepenuhnya.