3- Ketakutan tersendiri
Bagi beberapa orang, pergi ke psikolog adalah keputusan yang besar. Muncul pertanyaan-pertanyaan seperti, “Apa aku terlalu berlebihan, ya?” dan “Bagaimana kalau psikolog-nya tidak membantuku?”
Ketika kita mulai meragukan diri dengan melontarkan pertanyaan seperti itu, Della menekankan kita harus yakin kita mencoba untuk pergi ke psikolog itu lebih daripada tidak sama sekali.
"Menemukan psikolog yang cocok memang butuh waktu, tetapi setidaknya kamu akan berada selangkah lebih dekat dengan mengetahui apa yang terjadi dalam dirimu agar dapat membaik," kata Della.
4- Minimnya akses psikolog
Menurut Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK), jumlah psikolog klinis yang ada saat ini adalah 3.232. Jumlah ini bisa dibilang sedikit apabila dibandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki 106,500 psikolog. Apalagi jumlah tersebut terpusat di Pulau Jawa.
Orang-orang bisa memanfaatkan aplikasi konseling psikologi daring seperti Riliv dan lainnya bisa membantu masyarakat mengakses layanan psikologi tanpa harus keluar rumah. Mulai dari Sabang hingga Merauke, orang-orang bisa mendapatkan psikolog dari seluruh Indonesia melalui satu aplikasi yang sama.
5- Banyaknya biaya yang harus dikeluarkan
Selain keterbatasan akses psikolog, faktor biaya juga harus dipertimbangkan. Kebanyakan psikolog mengenakan Rp 150 ribu sebagai biaya konsultasi. Tidak semua orang dapat mengeluarkan uang sebesar itu.
BPJS kesehatan bisa memberikan akses psikolog di rumah sakit terdekat. Jika kita memiliki asuransi atau BPJS kesehatan, kita bisa mencoba mencari tahu apakah rumah sakit terdekat bisa menawarkan layanan psikolog yang ditanggung asuransi.