Kamis 10 Dec 2020 14:00 WIB

Derita Ibu Kala Anaknya yang Autis Diopname Akibat Covid-19

Sang ibu menyebut anaknya kadang sulit mengomunikasikan apa yang dibutuhkannya.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Reiny Dwinanda
Seorang ibu di AS, Pam Warfle, berat hati melepas buah hatinya yang menyandang autisme masuk ruang isolasi Covid-19 tanpa pendampingannya.
Foto: Pam Warfle via Today
Seorang ibu di AS, Pam Warfle, berat hati melepas buah hatinya yang menyandang autisme masuk ruang isolasi Covid-19 tanpa pendampingannya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pam Warfle (52 tahun) tak bisa menutupi kekhawatirannya ketika putranya Jonathan Warfle (21) didiagnosis positif Covid-19 dan harus dirawat di rumah sakit. Kekhawatiran muncul karena Jonathan memiliki autisme dan dia terkadang kesulitan untuk mengomunikasikan apa yang dibutuhkannya.

Dengan segala kekhawatiran terhadap putranya, Pam tetap harus meninggalkan Jonathan sendirian. Pam memahami bahwa pasien Covid-19 harus diisolasi dan tidak bisa ditemani, namun dia berharap ke depan ada kebijakan khusus untuk bagaimana memperlakukan pasien Covid-19 dengan autisme, disabilitas, maupun gangguan intelektual dan perkembangan dengan lebih baik saat pandemi terus berlanjut.

Baca Juga

"Kita harus harus mencapai titik di mana kita dapat mengakomodasinya dengan strategi khusus untuk orang dengan autisme. Tapi sekarang, tidak ada yang bisa saya lakukan untuk membantunya, dan dia tidak bisa menahan diri dalam beberapa situasi ini,” kata Pam seperti dikutip dari laman Today pada Rabu (9/12).

Sebelum akhirnya diboyong ke rumah sakit, Jonathan sempat diisolasi di rumah. Semula, ibunya tidak terlalu khawatir karena Jonathan hanya terlihat tidak nyaman dan lelah. Namun kemudian napas Jonathan menjadi sangat pendek dan berat.

Pada 4 November, Jonathan menjalani rontgen dada. Keesokan harinya, dokter merekomendasikannya untuk dibawa ke rumah sakit.

"Jadi saya membawanya ke rumah sakit dan dia melakukannya dengan sangat baik. Perawat juga merawat Jo dengan luar biasa. Tapi saya harus meninggalkannya," ungkap Pam.

“Saya berdiskusi dengan Jonathan tentang apa yang terjadi dan mengapa dia harus berada di rumah sakit sendirian. Saya tidak bisa menahan rasa takut saya lagi. Saya hanya menangis dan dia menghiburku,” lanjut Pam.

Dan, yang dikhawatirkan oleh Pam benar terjadi. Jonathan diketahui sangat sulit memahami situasi dan segala hal yang terjadi selama di rumah sakit. Terkadang saat dia menelepon, Jonathan hanya menggeram.

"Jonathan kehilangan kata-katanya. Dia tidak bisa memprosesnya. Orang dengan autisme memang harus diperlakukan berbeda, dan perlu waktu lebih untuk menjelaskan sesuatu,” kata Pam.

Setelah hampir 16 hari di RS, Jonathan akhirnya kembali ke rumah. Jonathan mengaku sangat rindu dengan keadaan rumah. Pam membagikan kisah ini dengan harapan dapat membantu memperbaiki perawatan bagi penyandang autisme dan disabilitas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement