REPUBLIKA.CO.ID, LANSING -- Masa karantina selama pandemi Covid-19 tak hanya membuat orang dewasa jenuh. Anak-anak juga merasa bosan ketika sudah terlalu lama di rumah.
Tak jarang mereka merasa tertekan. Banyak hal yang disarankan kepada para orang tua agar anak dan orang tua sama-sama tak bosan berada di rumah. Salah satunya dengan makan bersama.
Sayangnya, dilansir di laman New York Times, Kamis (21/5), hal itu tak cukup banyak membantu karena kombinasi antara makanan dan stres cukup rumit. Seorang profesor psikologi kesehatan di Universitas McGill, Bärbel Knäuper, menunjuk keterkaitan antara tidur dan olahraga serta struktur dan kesehatan mental.
Dia menyebut siituasi saat ini telah memengaruhi semua domain berbeda untuk banyak keluarga. "Secara umum, dua hal besar yang membuat anak makan secara emosional yakni kebosanan dan stres," ujarnya.
Knäuper mengatakan dalam jangka pendek, kira-kira setengah dari populasi akan makan lebih banyak sebagai respons terhadap stres. Sementara separuh lainnya akan makan lebih sedikit.
Menurut profesor pediatri di University of Michigan dr Julie Lumeng, makan secara emosional dapat diartikan dengan makan berlebihan. Hal ini sebagai respons terhadap emosi negatif, kecemasan, kesedihan, kemarahan, atau kebosanan.
Dia membedakan makan emosional dan motivasi lain yang menentukan berapa banyak orang makan. Seperti reaksi mereka terhadap ketersediaan makanan atau rasa kenyang.
Lumeng mengatakan ada lebih banyak penelitian tentang orang dewasa dibandingkan anak-anak dalam hal makan berlebihan emosional. Meskipun demikian, ada peningkatan minat tentang bagaimana hal itu berkembang pada anak-anak.
Beberapa penelitian menunjukkan, ada kontribusi genetik untuk makan emosional. Akan tetapi, kata dia, hal itu tidak benar-benar memainkan peran utama sampai dewasa.
"Makan emosional di masa kanak-kanak tampaknya karena lingkungan. Apakah anak-anak makan sebagai respons terhadap stres? Beberapa anak melakukannya," kata Lumeng.
Ada baiknya melihat lebih dekat terkait apa yang mengganggu mereka. Saat kita berpikir mereka makan lebih banyak karena pandemi, tanya mereka apakah itu karena sedang sedih secara emosional, cemas, depresi, atau memang karena mereka bosan.
Menurut Lumeng, ini adalah momentum tepat untuk membantu anak untuk mengelola emosinya lebih baik. "Bantu anak-anak memahami pandemi ini, kelola rasa takut mereka, atasi kemarahan mereka atas apa yang telah hilang dari mereka," kata Lumeng.
LANSING -- Masa karantina selama pandemi Covid-19 tak hanya membuat orang dewasa jenuh. Anak-anak juga merasa bosan ketika sudah terlalu lama di rumah.
Tak jarang mereka merasa tertekan. Banyak hal yang disarankan kepada para orang tua agar anak dan orang tua sama-sama tak bosan berada di rumah. Salah satunya dengan makan bersama.
Sayangnya, dilansir di laman //New York Times//, Kamis (21/5), hal itu tak cukup banyak membantu karena kombinasi antara makanan dan stres cukup rumit. Seorang profesor psikologi kesehatan di Universitas McGill, Bärbel Knäuper, menunjuk keterkaitan antara tidur dan olahraga serta struktur dan kesehatan mental.
Dia menyebut siituasi saat ini telah memengaruhi semua domain berbeda untuk banyak keluarga. "Secara umum, dua hal besar yang membuat anak makan secara emosional adalah kebosanan dan stres," ujarnya.
Knäuper mengatakan dalam jangka pendek, kira-kira setengah dari populasi akan makan lebih banyak sebagai respons terhadap stres. Sementara separuh lainnya akan makan lebih sedikit.
Menurut profesor pediatri di University of Michigan dr Julie Lumeng, makan secara emosional dapat diartikan dengan makan berlebihan. Hal ini sebagai respons terhadap emosi negatif, kecemasan, kesedihan, kemarahan, atau kebosanan.
Dia membedakan makan emosional dan motivasi lain yang menentukan berapa banyak orang makan. Seperti reaksi mereka terhadap ketersediaan makanan atau rasa kenyang.
Lumeng mengatakan ada lebih banyak penelitian tentang orang dewasa dibandingkan anak-anak dalam hal makan berlebihan emosional. Meskipun demikian, ada peningkatan minat tentang bagaimana hal itu berkembang pada anak-anak.
Beberapa penelitian menunjukkan, ada kontribusi genetik untuk makan emosional. Akan tetapi, kata dia, hal itu tidak benar-benar memainkan peran utama sampai dewasa.
"Makan emosional di masa kanak-kanak tampaknya karena lingkungan. Apakah anak-anak makan sebagai respons terhadap stres? Beberapa anak melakukannya," kata Lumeng.
Ada baiknya melihat lebih dekat terkait apa yang mengganggu mereka. Saat kita berpikir mereka makan lebih banyak karena pandemi, tanya mereka apakah itu karena sedang sedih secara emosional, cemas, depresi, atau memang karena mereka bosan?
Menurut Lumeng, ini adalah momentum tepat untuk membantu anak untuk mengelola emosinya lebih baik. "Bantu anak-anak memahami pandemi ini, kelola rasa takut mereka, atasi kemarahan mereka atas apa yang telah hilang dari mereka," kata Lumeng.
Anak-anak dan remaja cenderung memperhatikan kebiasaan makan dan olahraga orang tua mereka. Ini bukan berarti orang tua harus berpura-pura tidak ada stres.
Alih-alih memberikan contoh sempurna, orang tua dapat memberikan contoh kepada anak tentang komunikasi emosional, yaitu mengakui stres dan kecemasan. Dari sana, orang tua diharapkan dapat menerima kondisi adanya stres dan kecemasan itu.
Lumeng menyarankan untuk meyediakan makanan besar dan makanan ringan pada waktu yang dijadwalkan. Jadwalkan satu atau dua camilan sehari, tergantung pada usia anak.Ini bukan berarti orang tua harus berpura-pura tidak ada stres.
Alih-alih memberikan contoh sempurna, orang tua dapat memberikan contoh kepada anak tentang komunikasi emosional, yaitu mengakui stres dan kecemasan. Dari sana, orang tua diharapkan dapat menerima kondisi adanya stres dan kecemasan itu.
Lumeng menyarankan untuk meyediakan makanan besar dan makanan ringan pada waktu yang dijadwalkan. Jadwalkan satu atau dua camilan sehari, tergantung pada usia anak.