REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Johnson & Johnson mengumumkan rencana pengujian vaksin eksperimental Covid-19 kepada manusia. Rencananya pengujian akan dimulai pada September, dan vaksin mungkin tersedia untuk otorisasi penggunaan darurat pada awal 2021. Hal ini membuat saham Johnson & Johnson melonjak naik sebesar 8 persen pada Senin (30/3), setelah perusahaan
J&J juga menyatakan telah menggelontorkan dana lebih dari 1 miliar USD untuk investasi pendanaan penelitian vaksin bersama Badan Penelitian dan Pengembangan Biomedis, bagian dari Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan Federal.
Kandidat vaksin utama J&J akan memasuki studi klinis fase 1 pada September, dengan harapan data klinis ihwal efek vaksin sudah didapat di akhir tahun 2020. Jika vaksin berfungsi dengan baik, maka vaksin bisa tersedia untuk penggunaan darurat pada awal 2021.
Perusahaan juga berkomitmen untuk meningkatkan kapasitas produksi dan mendistribusikan vaksin potensial dengan cepat. J&J mengatakan pihaknya berupaya memproduksi lebih dari 1 miliar dosis vaksin potensial.
“Kami memiliki indikator awal yang sangat baik yang tidak hanya dapat kita andalkan untuk menjadi basis vaksin yang aman, tetapi juga yang pada akhirnya akan efektif berdasarkan semua pengujian awal dan pemodelan yang telah kita lakukan,” kata Chairman dan CEO Johnson & Johnson Alex Gorsky, dilansir CNBC pada Selasa (31/3).
Gorsky menepis anggapan bahwa proyek penelitian vaksin ini hanya untuk meraup keuntungan semata. Dia juga enggan membeberkan berapa biaya yang harus dibayar konsumen untuk mendapat vaksin tersebut.
Selain calon vaksin utama, J&J juga akan mengerjakan dua vaksin cadangan. J&J berencana mulai mengerjakan pengembangan vaksin COVID-19 tersebut pada Januari 2021.
Hingga kini, upaya global untuk mengembangkan vaksin Covid-19 terus dilakukan. Tetapi para ahli telah memperingatkan bahwa dibutuhkan waktu lebih dari satu tahun untuk menyiapkan vaksin.
Sebelum menemukan vaksin, beberapa otoritas kesehatan menggunakan obat antivirus Gilead Sciences dan Remdesivir untuk mengobati pasien Covid-19. Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Robert Redfield mengatakan, awal bulan ini obat tersebut akan digunakan di negara bagian Washington untuk mengobati pasien COVID-19.