Selasa 11 Feb 2020 16:18 WIB

Efektifkah Menentukan Stunting Hanya dari Tinggi Badan?

Mengukur tinggi badan anak telah menjadi salah satu cara menentukan stunting.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Reiny Dwinanda
1000 Days Fund memasang 12.000 poster tinggi badan di 22 pulau Indonesia untuk mencegah stunting. Mengukur tinggi badan anak telah menjadi salah satu cara menentukan stunting.
Foto: Republika/Adysha Citra Ramadani
1000 Days Fund memasang 12.000 poster tinggi badan di 22 pulau Indonesia untuk mencegah stunting. Mengukur tinggi badan anak telah menjadi salah satu cara menentukan stunting.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa stunting adalah ketidakmampuan anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal akibat status gizi yang buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tak mencukupi. Perbandingan tinggi badan terhadap usia seringkali menjadi acuan untuk menentukan apakah seorang anak mengalami kekerdilan atau tidak.

"Sebenarnya ada dua pendekatan (untuk mengukur stunting)," ujar Kepala Badan Litbang kesehatan Kementerian Kesehatan RI dr Siswanto MHP DTM dalam peluncuran 12.000 poster tinggi badan oleh 1000 Days Fund untuk 22 pulau di Indonesia, di Jakarta.

Baca Juga

Pendekatan pertama adalah pendekatan antropometri dengan menggunakan Z-Score. Pendekatan ini menggunakan tinggi badan dan usia anak sebagai acuan untuk menentukan apakah seorang anak mengalami stunting atau tidak.

"Kalau di bawah -2.00 standar deviasi (SD), itu stunting," kata Siswanto.

Pendekatan kedua adalah pendekatan kombinasi. Pendekatan ini menggunakan pendekatan antropometri dan juga pemeriksaan klinis. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeriksa apakah anak memiliki gangguan klinis.

Siswanto mengatakan, pendekatan ini lebih rumit dibandingkan pendekatan antropometri saja. Kedua pendekatan ini benar dan bisa digunakan dalam memeriksa stunting pada anak, tetapi pendekatan antropometri cenderung lebih mudah diaplikasikan di lapangan.

"Kedua cara ini benar. Tapi untuk kesehatan masyarakat, antropometri masih oke. Karena cepat dan kader tidak mungkin juga untuk melakukan penilaian secara klinis," ujar Siswanto.

Penggunaan pendekatan antropometri ini juga yang membuat WHO menetapkan cut off atau batasan stunting pada angka 20 persen. Artinya, bila prevalensi stunting pada suatu daerah sudah di bawah 20 persen maka masalah stunting di daerah tersebut sudah bukan termasuk masalah kesehatan masyarakat.

Stunting merupakan salah satu momok yang masih menghantui anak-anak di Indonesia. Diperkirakan, sekitar tiga dari 10 anak di Indonesia atau sekitar 30,8 persen anak-anak Indonesia mengalami stunting.

Implikasi dari kekerdilan bukan hanya berkaitan dengan tinggi badan anak saja. Stunting dapat memengaruhi banyak aspek yang bisa memberi dampak jangka panjang bagi kualitas hidup anak di kemudian hari. Beberapa di antaranya adalah skor IQ yang lebih rendah sekitar 6-11 poin dan risiko yang lebih tinggi terhadap penyakit tidak menular.

Di samping itu, data menunjukkan bahwa ada sekitar 70 ribu kasus kematian anak per tahun di indonsia terkait malnutrisi yang sebenarnya bisa dicegah. Oleh karena itu, masalah kekerdilan perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar dari berbagai pihak.

Siswanto mengatakan, masalah stunting bukan hanya menjadi masalah satu atau dua pihak saja, tetapi menjadi masalah semua orang. Diperlukan kerja sama berbagai pihak untuk bisa memerangi kekerdilan dengan lebih baik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement