REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Upaya pencegahan stunting perlu dimulai dari akar persoalan, yaitu kualitas lingkungan dan akses air minum yang layak. Hal ini menjadi sorotan utama dalam kegiatan edukasi yang diselenggarakan oleh Yayasan Jiva Svastha Nusantara di Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan.
“Penyebab tidak langsung stunting adalah lingkungan, terutama air yang tidak higienis. Diare yang disebabkan oleh air terkontaminasi menyumbang 42 persen kematian bayi di Indonesia,” ujar dr Lucy Widasari, Ketua Kerja Sama Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia dan Direktur Program PT Yapindo, Kamis (24/7/2025).
Ia menambahkan sanitasi yang buruk dan penyakit infeksi dapat mengganggu pertumbuhan janin, penyerapan nutrisi, bahkan meningkatkan risiko hepatitis E pada ibu hamil. Ini pada akhirnya berpotensi melahirkan bayi dalam kondisi stunting.
“Kualitas air minum tidak bisa hanya dinilai dari kejernihannya. Kalau air mineral terasa aneh, meskipun bening, itu tanda kontaminasi. Air yang layak konsumsi seharusnya tidak berasa dan tidak berbau,” tegasnya.
Surya Putra, Kepala Bidang Hukum dan Advokasi Kebijakan Yayasan Jiva Svastha, menyoroti tantangan tersembunyi yang selama ini diabaikan banyak orang. “Kita mengira air di kota besar seperti Jakarta sudah pasti bersih. Padahal, banyak air yang secara fisik tampak jernih justru mengandung bakteri berbahaya seperti E coli dan coliform,” jelasnya.
Surya juga mengingatkan bahwa air minum isi ulang yang banyak dikonsumsi masyarakat belum tentu memenuhi standar kesehatan. Yayasan Jiva Svastha Nusantara telah bekerja sama dengan sejumlah dinas kesehatan dan puskesmas di beberapa kota untuk melakukan pemeriksaan kualitas depot air minum isi ulang dan menemukan masih banyaknya kontaminasi pada produk air yang dijual.
“Dari pemeriksaan laboratorium, sering kali kami menemukan kadar pH yang tidak sesuai dan cemaran mikrobiologi yang tinggi. Hal ini sangat berisiko bagi kelompok rentan seperti balita dan ibu hamil,” katanya.