REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untuk mencetak generasi yang cerdas serta berdaya saing, fondasi kesehatan dan tumbuh kembang anak sejak dini dinilai menjadi krusial. Seseorang yang sehat akan memiliki produktivitas dan kualitas hidup yang lebih baik.
Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa setiap individu di Indonesia berhak atas kesehatan sebagai bagian dari kesejahteraan. Namun, di balik landasan regulasi yang kuat ini, implementasi di lapangan masih menghadapi kendala signifikan dalam mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang memadai, terutama terkait pemantauan kesehatan dan tumbuh kembang anak.
"Kesehatan merupakan aspek terpenting dalam kehidupan manusia serta menjadi hak asasi bagi setiap orang," kata Anggota Unit Kerja Koordinasi Tumbuh Kembang dan Pediatri Sosial Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr dr Hesti Lestari, SpA(K), dalam media briefing pada Selasa (29/7/2025).
Akses pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai ketersediaan dan kemudahan bagi individu untuk memanfaatkan layanan kesehatan pada saat dibutuhkan, dengan tujuan akhir peningkatan kesehatan fisik, mental, dan kualitas hidup. Kemudahan akses ini dipengaruhi oleh tiga dimensi utama yang saling terkait.
Pertama adalah aspek geografis, yang meliputi kemudahan menjangkau fasilitas kesehatan, ketersediaan transportasi yang memadai, serta kualitas infrastruktur jalan yang menunjang mobilitas. Kedua, aspek ekonomi, berkaitan erat dengan kemampuan finansial individu dalam menjangkau biaya layanan kesehatan, baik untuk konsultasi, pengobatan, maupun tindakan medis. Ketiga, aspek sosial, mencakup berbagai faktor non-teknis seperti kualitas komunikasi antara penyedia layanan dan pasien, perbedaan budaya yang mungkin menimbulkan hambatan, tingkat keramahan pelayanan, dan secara keseluruhan, tingkat kepuasan pasien terhadap fasilitas kesehatan yang diberikan.
Ketersediaan fasilitas kesehatan di Indonesia sendiri masih menghadapi tantangan serius. Dia mengatakan, dari jumlah penduduk Indonesia telah mencapai lebih dari 280 juta jiwa pada 2023, rasio Puskesmas saat ini sekitar 1,4 per 100.000 penduduk. Angka ini masih berada di bawah standar internasional WHO yang merekomendasikan setidaknya dua pusat kesehatan primer per 100.000 penduduk untuk memastikan layanan yang memadai dan merata.
Data menunjukkan adanya puluhan ribu Puskesmas dan ribuan Rumah Sakit di seluruh Indonesia, namun penyebaran yang belum merata secara signifikan menimbulkan kesenjangan akses yang mencolok antara wilayah perkotaan dan pedesaan, atau antara daerah maju dan wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Berbagai faktor kompleks turut berkontribusi pada hambatan akses pelayanan kesehatan yang masih kerap terjadi.
Dari sisi internal masyarakat, terkadang ditemukan kecenderungan untuk menganggap sepele kondisi kesehatan atau adanya keterbatasan pengetahuan tentang pentingnya pemantauan kesehatan secara berkala. Faktor ekonomi sering menjadi hambatan paling dominan; pendapatan rendah kerap menyebabkan individu kesulitan menjangkau fasilitas kesehatan, mengingat jutaan penduduk Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan (data BPS Maret 2022).
Dia mengatakan secara geografis, banyak fasilitas kesehatan, khususnya Puskesmas, berlokasi di wilayah 3T yang secara inheren sulit dijangkau akibat infrastruktur yang minim. Faktor sosial budaya, ketersediaan sarana prasarana yang belum memadai, serta kekurangan tenaga kesehatan, terutama dokter di Puskesmas, juga menjadi kendala signifikan yang memerlukan perhatian serius.
"Selain itu, faktor lain seperti perbedaan akses berdasarkan gender (wanita secara umum lebih sering mengakses layanan kesehatan), waktu tempuh yang panjang (perjalanan lebih dari 30 menit ke fasilitas kesehatan dapat menurunkan motivasi), biaya transportasi yang mahal, domisili (masyarakat perkotaan cenderung lebih mudah mengakses dibandingkan pedesaan), serta pandangan masyarakat yang beragam terhadap kesehatan dan penyakit, turut memperparah keterbatasan akses ini," kata dr Hesti menjelaskan.
Kualitas pelayanan yang dirasakan, tingkat pendapatan, dan wawasan masyarakat juga dinilai sangat berpengaruh. Selain itu, dia menyebut tingkat pendapatan keluarga yang lebih tinggi memungkinkan proses pengambilan keputusan yang lebih baik dalam mencari pelayanan kesehatan. Yang tak kalah penting, semakin tinggi pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang signifikansi akses fasilitas kesehatan sebagai tempat pertolongan, maka semakin tinggi pula tingkat pemanfaatan layanan tersebut.
"Masyarakat dengan pendapatan keluarga yang tinggi akan memengaruhi proses pengambilan keputusan dalam mencari pelayanan kesehatan yang lebih baik dalam rangka meningkatkan derajat kesehatannya," ujarnya.
Dampak pada tumbuh kembang anak
Untuk menghasilkan generasi muda yang berkualitas, perhatian pada kesehatan dan tumbuh kembang mereka harus dimulai sejak dini, bahkan sejak dalam kandungan. Pemantauan rutin memungkinkan deteksi dini masalah kesehatan dan perkembangan, sehingga intervensi seperti pemberian nutrisi tambahan, stimulasi, atau rujukan ke spesialis dapat dilakukan sesegera mungkin untuk mengoptimalkan potensi mereka dan mencegah masalah jangka panjang.
“Untuk bisa mendapatkan generasi muda yang berkualitas, maka harus dimulai sejak masih dalam usia dini, bahkan sejak dalam kandungan itu harus sudah berkualitas karena itu adalah masa tumbuh kembang yang cepat berlangsungnya. Jadi kalau kurang merata akses terhadap pelayanan kesehatan, itu jelas memberikan hambatan terhadap proses berkesinambungan tersebut,” ujarnya.
Sayangnya, akses terbatas ini menimbulkan dampak negatif yang signifikan, seperti stunting (gagal tumbuh akibat gizi kurang kronis), yang prevalensinya sempat mencapai 37,6 persen pada 2013 meskipun telah menunjukkan penurunan menjadi 19,8 persen pada 2024. Selain itu, kurangnya akses literasi dan penanganan memadai dapat memunculkan potensi gangguan perkembangan kognitif, emosional, dan sosial, yang berujung pada keterlambatan belajar, masalah interaksi, serta terhambatnya pencapaian potensi penuh anak dalam pendidikan dan pekerjaan.
WHO mencatat 149,2 juta anak di bawah 5 tahun mengalami gangguan perkembangan secara global pada tahun 2020, sebuah angka yang mengkhawatirkan. “Jadi akses terhadap pelayanan kesehatan ini penting guna memastikan anak-anak mengalami tumbuh kembang yang optimal, yang dimulai dari terpenuhinya kebutuhan asuh, asih, asah. Jadi ukuran-ukuran tubuh dan perkembangan seorang anak itu harus kita masukan ke dalam kurva yang sesuai dengan tren pertumbuhannya,” kata dr Hesti.
Menyadari urgensi dan dampak serius dari akses terbatas ini, pemerintah telah meluncurkan program Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) di tingkat nasional. Tujuannya untuk melakukan pemantauan dan pemeriksaan teratur untuk menemukan penyimpangan tumbuh kembang pada balita dan anak prasekolah.
Puskesmas memegang tanggung jawab utama dalam menyelenggarakan pelayanan SDIDTK di wilayahnya. Untuk mengatasi dampak negatif tersebut secara fundamental, beberapa upaya strategis perlu digencarkan.
Pertama, peningkatan akses terhadap layanan kesehatan, makanan bergizi, dan pendidikan berkualitas bagi anak-anak. Kedua, memberikan pendidikan kesehatan yang komprehensif kepada orang tua dan masyarakat tentang pentingnya pemantauan kesehatan dan tumbuh kembang anak sejak dini.
Ketiga, memberdayakan masyarakat dalam upaya pemantauan kesehatan dan tumbuh kembang anak, termasuk memberikan dukungan yang terstruktur kepada keluarga yang membutuhkan. Dia mengatakan, paling fundamental yakni diperlukan pembangunan kerja sama yang kuat antar sektor—kesehatan, pendidikan, dan sosial—untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dan suportif bagi tumbuh kembang anak.
"Kolaborasi lintas sektor dan pemberdayaan masyarakat adalah kunci untuk memastikan setiap anak mendapatkan akses yang layak untuk tumbuh kembang optimal," ujarnya.