Selasa 21 Jan 2020 20:23 WIB

Orang Tuanya Depresi, Struktur Otak Anak Jadi Berbeda

Struktur otak anak dengan orang tua yang depresi berbeda dengan anak lainnya.

Rep: Puti Almas/ Red: Reiny Dwinanda
Remaja depresi. Struktur otak anak yang orang tuanya depresi tampak berbeda dengan anak lainnya.
Foto: Pixabay
Remaja depresi. Struktur otak anak yang orang tuanya depresi tampak berbeda dengan anak lainnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah studi terbaru menemukan otak anak-anak yang berisiko tinggi terkena depresi karena orang tua mereka didera depresi, secara struktural berbeda dibandingkan otak anak-anak pada umumnya. Depresi cenderung muncul pertama kali selama masa remaja.

Dari penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa memiliki orang tua yang mengalami depresi menjadi salah satu faktor resiko terbesar. Remaja yang orang tuanya mengalami depresi, dua hingga tiga kali lebih mungkin untuk terkena depresi dibandingkan remaja lainnya.

Baca Juga

Meski demikian, dilansir Health 24, mekanisme otak di balik risiko keluarga ini belum jelas. Untuk mempelajari lebih lanjut, tim peneliti dari Columbia University, Amerika Serikat (AS) melakukan analisis gambar otak dari lebih 7.000 anak. Ini menjadi studi terbesar mengenai tema tersebut di AS.

Dari analisis tersebut ditemukan sekitar sepertiga anak-anak berisiko tinggi karena memiliki orang tua yang memiliki depresi. Pada anak-anak itu, struktur otak yang disebut putamen kanan, yang terkait dengan penghargaan, motivasi, dan pengalaman menyenangkan, lebih sedikit dibandingkan anak-anak dari orang tua yang tidak memiliki riwayat depresi.

“Temuan ini menyoroti faktor risiko potensial yang dapat menyebabkan perkembangan gangguan depresi selama periode puncak munculnya depresi,” ujar penulis senior studi sekaligus profesor psikologi medis dan ahli bedah di New York, Randy Auerbach, dalam sebuah pernyataan.

Auerbach mencatat bahwa penelitian sebelumnya telah mengaitkan volume putamen yang lebih kecil dengan penurunan kemampuan untuk mengalami kesenangan. Hal itu berimplikasi pada depresi, penggunaan narkoba, psikosis dan perilaku bunuh diri.

Dengan demikian, ada kemungkinan volume putamen yang lebih kecil adalah faktor risiko  transdiagnostik yang dapat memberikan kerentanan terhadap gangguan mental secara luas. Studi tentang otak anak-anak dan depresi ini telah dipublikasikan secara daring di Journal of American Academy of Child & Adolescent Psychiatry.

Sementara itu, kepala tim studi, David Pagliaccio yang juga merupakan asisten profesor neurobiologi klinis, mengatakan bahwa memahami perbedaan otak anak-anak dengan risiko depresi dari faktor keluarga dapat membantu mengidentifikasi mereka yang berpotensi tinggi mengalami depresi. Pagliaccio menilai bahwa ini dapat mengarah pada peningkatan keberhasilan dalam metode pengobatan. 

"Karena anak-anak akan dipantau selama periode 10 tahun dalam salah satu periode risiko terbesar, kami memiliki peluang unik untuk menentukan apakah volume putamen yang berkurang terkait dengan depresi secara spesifik atau gangguan mental secara lebih umum," jelas Pagliaccio.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement