REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Diet puasa atau dikenal sebagai intermittent fasting menjadi salah satu jenis diet yang cukup populer dalam beberapa waktu belakangan. Dalam cara diet ini, pola makan diatur dengan jam.
Orang-orang yang menerapkan intermittent fasting dapat mengkonsumsi jenis makanan apapun pada jam tertentu, namun selebihnya harus berpuasa. Meski demikian, puasa dalam diet ini adalah hanya diperbolehkan untuk mengkonsumsi air mineral.
Terlepas dari popularitas intermitten fasting, selama ini pembahasan mengenai efek samping dari metode diet ini masih sangat jarang dibahas. Dilansir melalui Bustle, Senin (20/1), sejumlah ahli diet dan pakar nutrisi sebenarnya telah menyuarakan keprohatinan karena adanya dampak dari diet puasa ini, termasuk dalam kesehatan mental, kinerja kognitif, kesehatan usus, gula darah, dan sikap terhadap makanan.
"Hanya makan selama jangka waktu tertentu setiap hari memutus hubungan kita dengan tubuh kita," Alissa Rumsey, ahli diet yang berbasis di New York, Amerika Serikat (AS).
Menurut Rumsey, saat orang membiarkan diri mereka makan di waktu tertentu, maka mereka juga sama sekali mengabaikan isyarat kelaparan yang muncul dari dalam tubuh. Ini berarti intermittent fasting membuat Anda berhenti mendengarkan kebutuhan dan keinginan tubuh dan itu memberi efek samping yang luas bagi tubuh.
Tetapi, bukan berarti saat berpuasa hanya terdapat efek samping. Rebecca Jennings, ahli gizi dari Priory Group's Arthur House yang mengatakan bahwa selama jangka waktu 10 hingga 12 jam berpuasa, kadar kolestrol dalam tubuh menurun, serta meningkatkan sensitivitas insulin, dan mengurangi faktor resiko penyakit kardiovaskular.
Intermittent fasting juga memiliki efek positif pada pencernaan beberapa orang. Ahli gizi klinis Sara Kahn mengatakan makan larut malam dapat menyebabkan gangguan pencernaan, kembung atau refluks asam.
Meski demikian, tetap perlu diingat bahwa dampak kesehatan dari mengabaikan isyarat lapar bisa sangat luas. Jennings mengatakan bahwa pada hari-hari saat tidak berpuasa, Anda mungkin akan lebih tertarik pada makanan yang lebih tinggi kalori dan tidak padat nutrisi. Hal ini tubuh Anda akan percaya bahwa itu berusaha untuk menangkal kelaparan dan membutuhkan bahan bakar sebanyak mungkin dalam bentuk kalori tinggi.
"Ketika Anda melewatkan makan, kadar kortisol Anda meningkat," kata Rumsey.
Kortisol adalah hormon yang dilepaskan sebagai respons terhadap stres, dan perasaan kelaparan memberi tekanan pada tubuh. Dengan kadar hormon tersebut meningat, maka dapat menyebabkan kinerja kognitif yang lebih rendah, gangguan tidur, dan penurunan kewaspadaan mental. Jennings mengingatkan bahwa selama berpuasa, Anda mungkin akan merasa stres, lapar, dehidrasi, lelah, dan mudah tersinggung.
Lebih lanjut, Anda mungkin akan merasa pusing dan lemah, serta detak jantung melambat. Saat dalam periode puasa, penurunan besar dalam kadar gula darah terjadi. Karena itu, Kahn mengatakan siapapun yang memiliki riwayat disregulasi gula darah atau masalah tiroid tidak dianjurkan untuk melakukan intermittent fasting.
Intermittent fasting juga rentan menyebabkan seseorang merasa berasalah dan malu saat melanggar aturan. Mereka yang sedang menjalani metode diet ini mungkin akan menghindari berkumpul bersama teman-teman dan acara sosial apapun yang dikhawatirkan dapat membuat godaan untuk makan.
"Diet ketat seperti intermittent fasting dapat menjadi pintu gerbang dari gangguan makan, karena orang dapat menjadi begitu terpaku pada aturan dan mereka mulai secara dramatis mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Orang dengan riwayat gangguan makan tidak boleh mencoba metode ini,” jelas Jennings.