REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepadatan payudara dapat mempengaruhi risiko kanker payudara pada perempuan. Kesadaran perempuan akan kaitan antara kepadatan payudara dan risiko kanker ini sudah semakin baik.
Berdasarkan laporan dalam Journal of the American College of Radiology, pada 2017 lalu sekitar 66 persen perempuan tahu bahwa jaringan payudara yang padat berkaitan dengan peningkatan risiko kanker. Angka ini meningkat dibandingkan dengan 2012 lalu yang berkisar di angka 59 persen.
Namun, kesadaran yang meningkat ini ternyata tidak cukup untuk mendorong lebih banyak perempuan untuk memeriksakan diri atau berdiskusi mengenai risiko mereka dengan dokter. Hanya kurang dari setengah perempuan yang mengetahui hubungan kepadatan payudara dan risiko kanker yang berdiskusi mengenai kepadatan payudaranya ke dokter.
"Diskusi ini lebih sering diinisiasi oleh penyedia layanan kesehatan dibandingkan oleh pasien, terlepas dari apakah pasien memiliki payudara yang padat atau tidak," terang ketua tim peneliti dari Mayo Clinic di Rochester Dr Deborah Rhodes, seperti dilansir Reuters, Rabu (4/12).
Inisiatif untuk melakukan deteksi dini kanker payudara melalui mammogram juga lebih banyak datang dari penyedia layanan kesehatan. Padahal, mammogram dapat membantu perempuan untuk mengetahui status kepadatan payudara mereka.
Payudara yang padat memang membuat pemeriksaan mammogram lebih sulit untuk mendeteksi keberadaan tumor. Oleh karena itu, beberapa negara menganjurkan perempuan dengan payudara padat untuk melakukan skrining melalui pemeriksaan ultrasound atau MRI. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi tumor lebih baik pada payudara padat dibandingkan mammogram.
Dalam proposal baru, Food and Drug Administration (FDA) juga meminta gar semua fasilitas mammografi di Amerika Serikat memuat informasi mengenai kepadatan payudara pada surat hasil pemeriksaan yang diterima pasien. FDA juga meminta agar dalam surat tersebut disertai dengan penjelasan mengenai bagaimana kepadatan payudara dapat mempengaruhi akurasi dari pemeriksaan mammogram.
"Dibutuhkan adanya upaya edukasi secara berkelanjutan yang berfokus pada populasi rentan terhadap perbedaan akses layanan kesehatan," terang tim peneliti melalui Journal of the American College of Radiology pada 19 November 2019.