Sabtu 05 Oct 2019 08:45 WIB

Peneliti Temukan Alat Bantu Pasien TBC Disiplin Minum Obat

Temuan alat sensor peneliti disebut bisa merevolusi pengobatan bagi pasien TBC

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pasien Tuberkulosis melihat hasil ronsen dadanya. Indonesia, India, China, menjadi tiga negara penderita TBC terbesar dunia.
Foto: EPA
Pasien Tuberkulosis melihat hasil ronsen dadanya. Indonesia, India, China, menjadi tiga negara penderita TBC terbesar dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, LOS ANGELES—Para peneliti mengungkapkan sebuah sensor yang dapat ditelan memungkinkan dokter memonitor asupan obat pasien tuberkulosis (TB) dari jarak jauh. Penemuan ini memiliki potensi untuk menyelamatkan jutaan jiwa dan merevolusi pengobatan penyakit menular yang paling mematikan di dunia.

Sebuah uji coba terhadap 77 pasien di California menemukan 93 persen pasien yang menggunakan sensor tersebut menggunakan dosis pengobatan harian mereka, dibandingkan dengan 63 persen yang tidak. Penelitian ini diterbitkan dalam jurnal PLOS Medicine.

Sensor tersebut dinamakan Wirelessly Observed Theraphy (WOT) melibatkan pasien menelan sensor berukuran kecil dan menggunakan patch berpasangan pada batang tubuh mereka yang mentransmisikan tingkat pengobatan melalui Bluetooth. Dokter mereka kemudian dapat melacak secara real-time asupan obat mereka menggunakan aplikasi telepon.

“Jika kita serius menghilangkan TB maka kita harus mendapatkan beberapa hal mendasar yang benar, seperti peningkatan dukungan perawatan pasien yang efisien membantu pasien menyelesaikan semua perawatan mereka,” kata profesor kedokteran klinis di University of California San Diego, yang memimpin persidangan, seperti yang dilansir dari Malay Mail, Sabtu (5/10).

Profesor pediatri dan kesehatan anak di Universitas Stellenbosch, Mark Cotton mengatakan teknologi itu dapat memiliki efek mendalam pada tingkat TB dan kematian di negara-negara beresiko tinggi.

“Kita harus segera mengevaluasi penerapan WOT di negara-negara dengan prevalensi tinggi, seperti India dan Afrika Selatan di mana tingkat kedisplinan sering buruk karena hambatan geografis, stigma, dan kemiskinan,” kata Cotton.

Sekitar 10 juta orang tertular TBC setiap tahun. Pada 2017, 1,6 juta orang meninggal karena gangguan paru-paru kronis.

Kedisiplinan yang buruk terhadap pengobatan telah lama dikaitkan dengan penularan yang berkelanjutan dan munculnya jenis penyakit yang resistan terhadap obat. Sebagian besar kematian akibat TB terjadi di negara berkembang, yang dipimpin oleh India.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement