Jumat 04 Oct 2019 06:00 WIB

Kasus Cedera Paru Terkait Vaping Melonjak

CDC merekomendasikan agar orang tidak menggunakan produk vaping.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Muhammad Hafil
Vape dengan perasa sudah mulai dilarang penjualannya di sebagian negara bagian Amerika. Juga dilarang di Jepang dan India.
Foto: AP
Vape dengan perasa sudah mulai dilarang penjualannya di sebagian negara bagian Amerika. Juga dilarang di Jepang dan India.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Jumlah kasus cedera paru terkait vaping melonjak menjadi 1.080 pasien dan kematian menjadi 18 jiwa. Namun, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mengatakan penyebab spesifik penyakit pada pasien tersebut masih belum jelas.

Dilansir di USA Today pada Kamis (3/10), CDC memperkirakan asap beracun kimia, menjadi penyebab penyakit terkait vaping. Berdasarkan laporan CDC, dari 48 negara bagian dan Kepulauan Virgin, AS mewakili peningkatan dari minggu lalu sebanyak 805 kasus paru terkait vaping dan kematian 12 jiwa.

Baca Juga

Wakil direktur utama CDC, Anne Schuchat mengatakan jumlah kasus meningkat dengan cepat dan melibatkan cedera yang sangat serius. Dia mengatakan CDC merekomendasikan agar orang tidak menggunakan produk vaping, khususnya yang menggunakan THC atau senyawa psikoaktif utama dalam ganja.

“Rokok tidak boleh digunakan oleh kaum muda, pemuda, wanita hamil atau orang-orang yang sebelumnya tidak menggunakan produk tembakau,” kata Schuchat.

Survei terbaru menemukan bahwa 70 persen dari kasus cedera paru melibatkan laki-laki dan 37 persen berasal dari pengguna di bawah usia 21 tahun. CDC mengatakan penyebab penyakit masih diselidiki, studi klinik Mayo mengatakan penyebabnya mungkin asap kimia beracun.

Temuan itu didasarkan pada biopsi dari 17 orang yang dikonfirmasi atau kemungkinan kasus cedera paru terkait vaping, termasuk dua pasien yang meninggal. Semua subjek memiliki riwayat vaping, sebanyak 71 persen dari mereka menggunakan minyak ganja atau ganja.

Schuchat mengatakan penelitian Mayo Clinic cukup membantu, tetapi penyelidikan penyebabnya masih dalam tahap awal. Gejala awal dari cedera paru-paru, termasuk batuk, sesak napas, kelelahan, nyeri dada, mual, muntah, dan diare.

Terlepas dari spekulasi beberapa peneliti bahwa luka-luka itu mungkin terkait dengan penumpukan di paru-paru zat berlemak yang dikenal sebagai lipid. Studi Mayo Clinic mengatakan tidak ada kasus yang menunjukkan bukti pneumonia lipoid. "Meskipun kami tidak dapat mengabaikan peran potensial lipid, kami belum melihat ada yang menyarankan ini adalah masalah yang disebabkan akumulasi lipid di paru-paru.

Ahli patologi bedah di Mayo Clinic di Scottsdale, Arizona, Brandon Larsen mengatakan alih-alih tampak seperti cidera kimia, penyakit itu lebih mirip dengan dampak paparan asap kimia beracun, gas beracun, dan agen beracun.

Penelitian telah menunjukkan produk yang mengandung THC atau minyak ganja lainnya, seperti cannabidiol atau CBD dapat berperan menjadi wabah. “Ini adalah krisis kesehatan masyarakat, dan banyak orang bekerja dengan panik sepanjang waktu untuk mencari tahu apa penyebab pelakunya atau penyebabnya, serta bahan kimia apa yang mungkin bertanggung jawab.

“Berdasarkan apa yang telah kita lihat dalam penelitian kami, kami menduga bahwa sebagian besar kasus melibatkan kontaminan kimia, produk sampingan beracun atau agen berbahaya lainnya dalam cairan vape,” ujar dia.

Pekan lalu, Massachusetts mengumumkan larangan empat bulan untuk semua alat dan rasa vaping. Michigan, New York dan Rhode Island telah pindah untuk membatasi rokok elektronik.

Kota-kota seperti San Francisco melarang penjualan dan distribusi perangkat vaping. Dalam laporan terkait, Pusat Statistik Kesehatan Nasional (CDC) mengatakan survei menemukan dari 2014 hingga 2018, persentase orang dewasa 18-24 tahun yang merokok turun dari 16,7 persen menjadi 7,8 persen. Persentase orang dewasa dalam kelompok usia itu yang menggunakan rokok elektronik meningkat dari 5,1 persen menjadi 7,6 persen menurut survei.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement