Pembeda
Bagus Setiawan, selaku penyelenggara mengungkapkan Jazz Pinggir Rowo memang dikemas sebagai sebuah pertunjukan jazz yang menghilangkan kesan mahal. Apalagi Ambarawa hanya sebuah kota kecil.
Maka tak ada konsep panggung yang wah dengan dekorasi yang njelimet. Namun cukup menggunakan pelataran angkringan dengan pendopo rumah gaya limasan (antik) sebagai latar belakang panggung.
Lokasi yang dipilih pun berada di pinggir Danau Rawapening dan tepi Jalur Lingkar Ambarawa (JLA). Selain menikmati sajian musik jazz, para penonton pun juga bisa menikmati berbagai kuliner dan panganan khas pinggiran Rawapening.
Tersedia kue cikru (yang terbuat dari biji bunga teratai Rawapening), kuliner dengan sayur genjer yang khas Rawapening dan aneka godhogan (rebusan), seperti kacang tanah, singkong, dan ketela serta minuman hangat rempah dan kopi.
Jazz dipadu eksotisme Rawapening yang merupakan ikon kota Ambarawa inilah yang yang ditawarkan. "Ternyata animonya cukup besar, dengan harga tiket Rp 250 ribu dan cetak tiket sebanyak 150 lembar laku dalam waktu yang singkat,” ujar Bagus.
Ia memilih menggelar pertunjukkan jazz sebagai upaya mengangkat nama kota Ambarawa khususnya dan Kabupaten Semarang pada umumnya. Selain itu, untuk mendorong kemajuan pariwisata di Kabupaten Semarang.
“Ketika orang mendengar jazz pasti mahal, musik penuh pendidikan dan kita mendapatkan suasana damai. Mudah-mudahan ini juga bisa mengangkat nama Mbahro Jazz (komunitas jazz Ambarawa),” katanya.
Ia juga ingin, kelak hajat Jazz Pinggir Rowo ini bisa menjadi pembeda sekaligus kalender rutin untuk mengangkat Kabupaten Semarang. “Kalau ada Dieng Jazz Festival, Balkon Jazz di Borobudur atau Jazz Gunung Bromo, maka kami juga ingin Jazz di pinggiran Rawapening ini nantinya semakin dikenal,” katanya.