REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa tiga dari setiap 1.000 kelahiran hidup mengalami tuli. Ahli kesehatan pendengaran atau audilog menyarankan agar orang tua memeriksakan pendengaran bayi, terutama jika bayi terlahir prematur, kekurangan berat badan, atau memiliki penyakit kuning.
“Saat ini skrining pendengaran untuk bayi baru lahir sudah tersedia. Nantinya, bayi akan diperiksakan pendengarannya dengan mesin. Jika bayi itu dapat mendengar 20 desibel ke bawah, pendengarannya normal,” kata audilog senior Sylvia Lee dilansir Malay Mail, Selasa (2/7).
Lee mengatakan, dalam tujuh tahun pengalamannya sebagai audiolog, dia telah melihat lebih dari 500 anak yang lahir tuli. Setelah seorang anak dikonfirmasi tuli, ia perlu menentukan tingkat keparahan gangguan pendengaran sebelum memutuskan perawatan. Perawatannya pun bervariasi misalnya dengan alat bantu dengar atau implan koklea (rumah siput) yang berfungsi lebih untuk memperkuat suara.
Usia antara satu dan tiga tahun adalah masa emas anak untuk perkembangan bicara dan bahasa. Untuk itu, setiap orang tua disarankan untuk memeriksakan bayi mereka sebelum bayi mencapai usia tiga bulan. Pencegahan dan deteksi dini diharapkan bisa mencegah tuli anak semakin parah.
Lee menceritakan pengalamannya merawat salah satu anak yang dibawa ibunya untuk cek pendengaran ketika telah berusia empat tahun. Gadis itu didiagnosis dengan 80 persen gangguan pendengaran sehingga harus diberikan alat bantu dengar.
"Karena terlambat menerima perawatan, gadis itu kesulitan berbicara," kata Lee.
Ketika pertama kali memeriksa pasien ciliknya itu, menurut Lee, anak tersebut hanya memiliki satu kata kosa kata. Dia tidak bereaksi ketika dipanggil. Setelah menjalani perawatan, dia bisa bercakap-cakap sekarang.
Lee mengatakan tantangan terbesarnya adalah membuat orang tua menerima bahwa anak mereka tuli. Meskipun menghadapi tantangan, Lee mengakui bahwa kegembiraan terbesarnya adalah ketika seorang anak tuli bisa menjalani kehidupan normal.