REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Minimnya tempat penayangan film dinilai masih menjadi kendala utama pertumbuhan film dokumenter Indonesia. Padahal banyak film dokumenter karya anak bangsa yang berkualitas namun tidak banyak diketahui dan diapresiasi.
Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Ricky Pesik mengatakan infrastuktur perfilman memang masih perlu pembenahan diberbagai sektor. Tetapi itu semua tidak bisa diupayakan hanya oleh pemerintah namun juga perlu intervensi dan pihak swasta, seniman, dan masyarakat.
Dia mengumpamakan di luar negeri stasiun televisi memiliki ruang tersendiri untuk pemutaran film dokumenter. Ini berbanding jauh dengan stasiun televisi di Indonesia yang jarang sekali memberi ruang untuk karya film dokumenter.
"Misalnya Al-Jazeera itu sudah cukup konsisten mereka menayangkan film dokumenter. Di kita (stasiun televisi) kan jarang ada ruang untuk film-film dokumenter," kata Ricky di kantor Bekraf Jakarta, Selasa (16/4).
Bekraf yang menaungi industri kreatif perfilman, telah melakukan berbagai program untuk menata ekosistem film dokumenter yang lebih baik. Salah satunya yaitu dengan menyelenggarakan program Docs By The Sea Incubator yang bekerja sama dengan In-Docs. In-Docs adalah lembaga nirlaba yang berkomitmen menciptakan budaya keterbukaan melalui film dokumenter.
"Program ini lah merupakan investasi yang dilakukan Bekraf untuk meningkatkan kapasitas pembuatan film dokumenter di Indonesia," kata Ricky.
Directur In-Docs Amelia Hapsari menjelaskan program inkubasi ini memiliki tiga fokus yaitu Storytelling, Editing, dan Creative Producing. Program ini akan menginkubasi 24 proyek film dokumenter yang dianggap paling potensial di Asia Tenggara.
"Dari 24 film itu ada sembilan film dokumenter yang berasal dari Indonesia. Banyak yang bertanya mengapa filmnya Asia Tenggara tidak semua dari Indonesia? Alasannya agar sineas mancanegara lebih antusias untuk datang ke acara ini dan itu terbukti di event sebelumnya," kata Amelia.
Dia mengatakan sudah banyak film dokumenter alumni workshop IF/Then dan Docs by The Sea yang kini telah go international. Misalnya film besutan David Darmadi dan Lidia Afrilita yang berjudul Diary of Cattle telah tayang perdana pada festival film Visions du Rèel di Nyon, Swiss pada 11 April lalu.
Selain itu, sebuah proyek dokumenter Indonesia berjudul The Flame (Bara) yang disutradai oleh Arfan Sabran dan Gita Fara juga telah terpilih menjadi salah satu dari 10 proyek dokumenter yang dipersentasikan di festival yang sama. Film ini menceritakan tentang perjuangan petani dalam mempertahankan lahannya.