REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasar Senen tak hanya dikenal dengan deretan kue subuhnya. Salah satu makanan yang bisa banyak ditemukan di Pasar Senen adalah deretan nasi kapau.
Sekitar 25 penjual Nasi Kapau menjajakan dagangan di Jalan Kramat, Senen, Jakarta Pusat. Nasi Kapau Sabana Bana Bukit Tinggi milik H. Moh. Nasir telah berdiri sejak 1970.
Sang pemilik H. Moh Nasir (78) menceritakan perjalanannya dalam mendirikan warung nasi Kapau. Sebelum berjaya dengan omset Rp 150 juta per bulan, Nasir sempat merasakan bergonta-ganti bisnis.
Pada tahu 1960, Nasir yang masih bujang memutuskan untuk berkelana ke ibu kota krena di Bukit Tinggi dirinya diminta orang tuanya untuk menjaga toko mika. Di Jakarta, pria asal bukit tinggi itu memulai bisnis dengan berjualan martabak.
Bermodalkan gerobak, Nasir bujang menjajakan dagangan di kawasan Poncol. Jualannya, berkembang dengan pesat sampai-sampai pada waktu itu dirinya berhasil membawa pulang dua buntalan uang.
Puncaknya, saat dia mengajak seorang kawan dari dari kampung untuk dipekerjakan. Tidak untung tapi malah buntung, dagangan martabaknya terus mengalami penurunan, teman yang dipercayai terus-terusan menghabiskan modalnya demi mendatangi rumah bordil untuk bersenang-senang.
Bisnis martabaknya hanya mampu bertahan dua tahun saja dan temannya pergi meninggalkan dirinya, entah kemana. Kegagalannya, membuatnya memutar otak untuk bisa tetap bertahan hidup di kerasnya ibu kota.
Tepatnya pada saat penyelenggaraan Asian Games pertama di Indonesia pada tahun 1962, Natsir bujang mengambil langkah untuk berjualan kain di Tanah Abang. Dagangannya cukup laris karena dia piawai dalam mengambil momentum. Di tahun yang sama dia harus pulang ke padang untuk melangsungkan sebuah pernikahan.
Hiruk-pikuk ibu kota ditinggalkan untuk memulai hidup di kampung halaman bersama istri. Sayangnya, pernikahan pertama hanya bertahan lima tahun saja. Mereka pun berpisah ditahun 1967.
Pemilik Nasi Kapau Sabana Bana Asli Bukit Tinggi, H. Moh. Nasir T, di Kramat, Senen, Jakarta Pusat
Terbiasa hidup merantau, membuat Nasir berhasrat kembali hijrah dari tanah minang. Bukan ibu kota destinasinya, dia memutuskan untuk merantau ke Tegal dengan berjualan martabak seperti yang pernah dijajakan sewaktu di Jakarta.
Bertahan hanya selama enam bulan, Nasir kembali ke tanah minang untuk yang kedua kalinya. Dia kemudian menemukan jodoh dan menikah pada tahun 1970 yang membuat hidupnya membaik seperti saat ini.
Bersama dengan sang istri, Nasir memutuskan kembali ke Jakarta. Sempat berencana mengulang bisnis martabak, namun niatnya urung karena sang istri menyarankan untuk beralih ke masakan Kapau.
Pemilihan nasi Kapau dipilih karena keduanya memang berasal dari Kabupaten Agam, Sumatra Barat yang merupakan asal makanan tersebut. Nasir mengiyakan saran dari sang istri untuk berjualan Nasi Kapau.
Nasi Kapau mulai dijajakan Nasir dengan menggunakan tenda bongkar pasang. Dia menceritakan pada saat belum mendapatkan fasilitas, Nasi Kapau miliknya seringkali berurusan dengan dengan satpol PP. "Dulu kaki lima, pada zaman Gubernur Ali Sadikin itu dikejar-kejar kita, pedagang kaki lima itu tidak diizinkan," ujarnya.
Nasir menceritkan, dagangannya pernah tidak dibayar oleh orang pelanggan karena adanya razia. Semua orang berlarian termasuk dirinya untuk menghindari petugas. "Yang lucu itu ya, berjualan sejak maghrib, ada 20 sedang makan ada razia, kabur semua tidak bayar. Kita kejar-kejaran dengan petugas penertiban," kenangnya, sambil tertawa.
Natsir mengatakan pedagang Nasi Kapau sempat mengajukan permohonan untuk difasilitasi pada zaman Gubernur Sutiyoso. Izin berjualan pun dikantongi para pedagang untuk menjajakan dagangan di Senen, Jakarta Pusat.
Pedagang Kapau semakin dimanjakan pada zaman Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang menggantikan Joko Widodo. Ahok mengakomodir penjual, kemudian pada Mei 2017, Plt Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat yang menggantikan Ahok karena kasus penistaan agama berhasil meresmikan lokasi sementara untuk pembinaan PKL Nasi Kapau.
"Kita dikasih tempat oleh Ahok, pas zaman Sutiyoso udah dikasi izin kuliner Nasi Kapau, lalu diakomodir oleh ahok kemudian diresmikan oleh darat pada saat Ahok di penjara," ungkapnya sambil menunjuk fotonya dengan Djarot yang ditempel di pojok warung.
Nasir mengatakan, sebagai salah satu penjual nasi Kapau tertua, warungnya beberapa kali mendapat kunjugan tokoh publik maupun figur publik. "Ada Pak Bondan Winarno yang makan di sini, Dorce, pemain film itu juga langganan saya itu, banyak pemain film yang makan di sini," katanya.
Nasi kikil, salah satu menu andalan Nasi Kapau Sabana Bana Asli Bukit Tinggi (H. Moh. Nasir T) di Kramat, Senen, Jakarta Pusat.
Pria yang telah memiliki 10 cucu itu mengatakan, warungnya memiliki lebih dari 20 menu. Namun, dia menyebut ada dua menu yang paling diminati, yakni nasi Kikil dan Bebek cabe hijau.
Nasir menerangkan, pengolahan kikil juga melalui proses yang cukup panjang. Kikil terlebih dahulu dibakar, kemudian dikeruk bulunya dan direbus selama lima jam, sehingga rasanya empuk dan enak.
Urusan harga, Nasir mengatakan dari 20 lebih menu yang disediakan, sejak dulu tetap konsisten dengan hanya mematok harga 23 ribu per-porsi. Sebagai tambahan, es campur dengan harga 15 ribu juga tepat menemani apapun makanannya.
Hingga kini, Natsir telah mempekerjakan enam karyawan yang melayani pelanggan di jadwal pagi dan malam ditambah dengan satu anak dan dua cucunya. Untuk menikmati Nasi Kapau Sabana Bana Asli Bukit Tinggi H. Moh. Nasir pengunjung bisa datang kapanpun karena terbuka 24 jam non-setop.
Sementara, Muhammad Rahmad (47), salah seorang pelanggan mengungkapkan Nasi Kapau milik H. Moh Nasir memiliki cita rasa asli. Rahmad yang mengaku telah mencoba seluruh Nasi Kapau di Pasar Senen mengatakan, Nasi Kapau H. Moh Nasir berasa berada di kampung asal.
"Rasanya sesuai dari daerah asal, berasa berada di daerah sendiri," ungkap pria asal Sumatra Barat itu.
Rahmad melanjutkan, konsep bangku dan meja panjang nenegaskan nilai tradisional Minang dipertahankan. Sebab, menurutnya, jika menggunakan kursi kultur Minang terasa hilang.
Selain itu, menurutnya harga yang dipatok juga hampir sama dengan di Sumatra Barat. Rahmad menambahkan, pengelompokan kuliner berdasarkan daerah menjadi langkah bagus untuk melestarikan budaya.
"Langkah yang diambil oleh pemerintah DKI Jakarta sangat tepat. Ini bisa dilanjutkan agar bisa dicontoh oleh pemerintah di daerah," terangnya.