REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama ini, kondisi kesehatan fisik anak sering dikaitkan dengan peningkatan risiko anak sering tak masuk sekolah, nilai ujian yang jeblok, dan peluang yang lebih rendah untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Mereka jadi tak bisa sekolah akibat penyakit kronis yang dideritanya, seperti asma ataupun diabetes.
Penelitian terbaru menunjukkan bukti anyar bahwa masalah psikis juga dapat menurunkan prestasi belajar dan kesuksesan anak di masa depan. Dilansir Reuters, Senin (25/3), penulis utama penelitian dari University of Exeter Medical School di Inggris, Katie Finning, mengungkapkan keterkaitan kedua hal tersebut.
"Kami terkejut saat menemukan bukti bahwa kecemasan ada kaitannya dengan absen tanpa alasan atau pembolosan yang sering dianggap terkait dengan masalah perilaku daripada masalah emosional, seperti kecemasan atau depresi," ungkap Finning.
Menurut Finning, angka kehadiran yang buruk juga bisa menjadi tanda kecemasan, meskipun anak absen disertai dengan alasan. Untuk sampai pada kesimpulan tersebut, Finning dan timnya meninjau delapan studi yang diterbitkan sebelumnya dengan total hampir 26.000 siswa belia dari Eropa, Amerika Utara, dan Asia.
Responden rata-rata berusia 15 tahun dengan usia berkisar lima tahun hingga 21 tahun. Analisis ini berfokus pada empat kategori absen, yakni tak masuk tanpa memberi tahu guru atau membolos, tak masuk sekolah dengan alasan medis atau sebab lain yang dapat dibenarkan, anak menolak sekolah terkait dengan tekanan emosional tentang masuk sekolah; dan ketidakhadiran anak di kelas dengan alasan apa pun.
Hasilnya, seperti yang telah diduga, kecemasan sangat terkait dengan penolakan sekolah. Menariknya, anak juga terbukti membolos akibat cemas.
Finning mengatakan orang tua dan guru mungkin keliru menganggap beberapa anak tidak masuk sekolah karena sebatas karena mereka tidak menurut atau masalah perilaku. Beberapa anak yang dianggap bolos bisa jadi memiliki kecemasan yang tidak terdiagnosis, depresi, atau masalah kesehatan mental lainnya.
“Ada banyak hal tentang lingkungan sekolah yang mungkin menantang bagi kaum muda yang dilanda kecemasan, termasuk interaksi sosial dengan teman sebaya dan / atau staf sekolah, tantangan akademis, atau berpisah dengan pengasuh di rumah,” kata Finning.
Kecemasan, menurut Finning, kecemasan juga dapat menimbulkan gejala fisik, seperti sakit kepala atau sakit perut. Hal itu pula yang membuat anak tak masuk sekolah.
Sebagian besar studi dalam analisis ini termasuk kecil dan tak dirancang untuk membuktikan keterkaitan langsung antara kecemasan dan ketidakhadiran di sekolah. Namun, studi ini juga mengukur kecemasan dan kehadiran di sekolah dalam berbagai cara sehingga para peneliti tidak bisa mengumpulkan data di semua studi.
Meski demikian, hasilnya menunjukkan setidaknya beberapa absen yang dikaitkan dengan perilaku buruk yang mungkin disebabkan oleh kecemasan. Demikian diungkapkan seorang peneliti psikologi di University of Victoria di Kanada, Bonnie Leadbeater, yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
"Orang tua harus mempertimbangkan kemungkinan bahwa kecemasan ada di balik penolakan anak untuk masuk sekolah dan mencari pengobatan setelah penyebab fisik dikesampingkan. Menghukum anak-anak karena penolakan sekolah karena kecemasan kemungkinan besar bukanlah solusinya," kata dia.
Meskipun sulit mengidentifikasinya, anak-anak yang mengalami kecemasan berlebihan perlu bantuan. Leadbeater menyarankan kepada setiap orang tua untuk selalu menanyakan kepada anaknya mengenai penyulit yang membuat anak enggan masuk.
Selain itu, orang tua harus mulainya dengan berempati untuk memahami sudut pandang anak-anaknya. Hal itu untuk dapat membantu untuk membangun rasa percaya diri anak dalam mengelola kecemasan.