Rabu 05 Dec 2018 16:00 WIB

Cakupan Vaksin Rendah, Kasus Campak Dunia Meningkat Drastis

Konflik dan krisis ekonomi membuat cakupan vaksin campak menurun drastis

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Petugas menunjukan Vaksin Campak dan Rubella (MR) sebelum melakukan imuniasasi kepada anak di Puskesmas Darussalam, Banda Aceh, Rabu (19/9).
Foto: Antara/Ampelsa
Petugas menunjukan Vaksin Campak dan Rubella (MR) sebelum melakukan imuniasasi kepada anak di Puskesmas Darussalam, Banda Aceh, Rabu (19/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan bahwa kasus campak di dunia meningkat 30 persen pada 2017. Kasus campak yang menjulang tinggi ini disebabkan oleh rendahnya cakupan vaksin campak.

Data menunjukkan ada lebih dari 6,7 juta orang yang terkena campak pada 2017, di mana sebagian besarnya adalah anak-anak. Tercatat ada sekitar 110 ribu kematian yang terjadi akibat campak pada 2017.

Angka kematian akibat campak ini memang lebih rendah dibandingkan angka kematian pada 2000 yang mencapai sekitar 500 ribu. Akan tetapi, lonjakan kasus campak yang cukup besar menunjukkan bahwa upaya eliminasi campak melalui vaksin mengalami kemunduran.

Berdasarkan data WHO, ada sekitar 21 juta bayi yang tidak mendapatkan vaksin MMR pada 2017. Negara-negara dengan jumlah bayi terbanyak yang tidak mendapatkan vaksin adalah Nigeria, India, Pakistan, Indonesia dan Ethiopia.

WHO mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor penyebab rendahnya cakupan vaksin di berbagai belahan dunia. Di Venezuela misalnya, kondisi ekonomi yang buruk mungkin menjadi penyebab rendahnya cakupan vaksin campak. Sedangkan di Pakistan dan Nigeria, rendahnya cakupan vaksin campak mungkin dilatarbelakangi oleh konflik dan kerusuhan.

Akan tetapi, cakupan vaksin yang rendah juga terjadi di beberapa negara yang tidak sedang mengalami kekacauan. Pada negara-negara ini, penyebab rendahnya cakupan vaksin campak lebih dilatarbelakangi oleh adanya sentimen antivaksin pada orang tua sehingga anak-anak mereka tidak mendapatkan vaksin.

Pada 2018 misalnya, WHO juga sudah melihat kasus infeksi campak yang cukup tinggi. Pada Agustus misalnya, ditemukan adanya 41 ribu kasus campak hanya di Eropa. Ini menjadi kasus campak terburuk dalam satu dekade terakhir di Eropa. Di Brazil, ditemukan hampir 10 ribu kasus campak sedangkan di Venezuela tercatat ada lebih dari 6.300 kasus campak di tahun ini.

"Peningkatan kasus campak ini sangat mengkhawatirkan, tapi tidak mengejutkan," terang CEO Gavi Dr Seth Berkley.

WHO mengungkapkan bahwa 'kebangkitan' campak di dunia ini perlu mendapatkan perhatian yang serius. Terlebih dengan adanya kemunculan wabah campak yang terjadi di beberapa negara, khususnya negara-negara yang sebelumnya sudah mencapai eliminasi campak atau hampir mencapai eliminasi campak.

Upaya meningkatkan cakupan vaksinasi dan identifikasi populasi dengan tingkat vaksinasi rendah perlu dilakukan. Tanpa tindakan ini, upaya berpuluh-puluh tahun yang sudah dilakukan untuk mengeliminasi campak di berbagai belahan dunia akan menjadi sia-sia.

"Kita berisiko kehilangan berpuluh-puluh tahun upaya melindungi anak-anak dan masyarakat dari penyakit yang menghancurkan namun dapat dicegah ini," papar Deputi Direktur Jendral Program WHO Dr Soumya Swaminathan seperti dilansir NBC News.

Seperti diketahui, vaksin campak telah mencegah terjadinya 21 juta kematian akibat campak sejak 2000 hingga sekarang. Akan tetapi, rerata cakupan vaksin campak global masih bertengger di angka 85 persen. Selain itu, hanya 67 persen dari populasi dunia yang mendapatkan dosis kedua vaksin MMR. Padahal, penyakit menular ini baru bisa dicegah bila cakupan vaksinasi mencapai 95 persen dari populasi.

Orang tua juga perlu mengetahui bahwa sembilan dari 10 orang yang tidak mendapatkan vaksin campak akan mengalami campak bila terpapar oleh virus penyebab campak. Mengingat penyakit ini ditularkan melalui udara, orang-orang yang tak mendapatkan vaksin campak dapat tertular di mana saja.

"Bila satu orang mengalami campak, 12-18 orang akan mendapatkan (tertular) juga," jelas dokter anak Dr Peter Hotez. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement