Kamis 01 Nov 2018 19:57 WIB

Ilmuwan Kenalkan 3 Sub-Jenis Depresi, Ini Penjelasannya

Ciri tiga jenis depresi berciri sinkronisitas fungsi otak dan trauma waktu kecil

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Depresi. Ilustrasi
Foto: Sciencealert
Depresi. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, OKINAWA -- Hampir 300 juta orang di seluruh dunia mengidap depresi. Sayangnya, data Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) itu tidak dibarengi pemahaman mumpuni mengenainya. Tidak sedikit dokter dan ilmuwan yang kurang mengerti kondisi tersebut.

Tim akademisi dari Unit Komputasi Neural di Institut Sains dan Teknologi Okinawa (OIST), menggagas riset yang mengidentifikasi tiga sub-jenis depresi. Mereka bekerja sama dengan tim dari Institut Sains dan Teknologi Nara serta Universitas Hiroshima.

Studi yang sudah diterbitkan dalam jurnal Scientific Reports itu menganalisis data klinis, biologis, dan historis dari 134 individu. Setengah dari mereka baru didiagnosis mengidap depresi, sementara separuh lainnya tidak mengidap depresi.

Para peserta diminta mengisi kuesioner dan melakukan tes darah. Mereka ditanya tentang pola tidur, stres, kondisi kesehatan mental, selain menjalani pemindaian otak menggunakan magnetic resonance imaging (MRI).

Dengan menggunakan berbagai kombinasi metode, para peneliti menjumpai tiga dari lima kelompok data yang mewakili jenis depresi berbeda. Tiga jenis depresi itu dicirikan oleh dua faktor utama, yaitu sinkronisitas fungsi otak dan pengalaman trauma masa kanak-kanak. 

Mereka menemukan bahwa satu dari sub-tipe tersebut tidak dapat diobati oleh pengobatan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI) yang lazim diresepkan untuk depresi. Bisa jadi, itu sebabnya pengidap depresi dalam taraf tertentu sukar disembuhkan.

Pasien yang tak mempan dengan SSRI adalah yang mengalami peningkatan konektivitas fungsional otak sekaligus trauma masa kanak-kanak. Dua tipe lain, yakni tipe yang hanya mengalami salah satu dari faktor tersebut, cenderung merespons positif perawatan SSRI.

"Penelitian ini memberikan arah yang menjanjikan bagi para ilmuwan yang mempelajari aspek neurobiologis dari depresi," ungkap salah satu peneliti, Profesor Kenji Doya, seperti dikutip dari laman Science Daily.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement