Jumat 06 Apr 2018 15:01 WIB

Drama Penculikan dalam Romansa Suku Sasak

Pernikahan di Suku Sasak baru terjadi bila pria berhasil menculik pujaan hatinya.

Rep: Christiyaningsih/ Red: Indira Rezkisari
Suasana dusun Sasak Ende, Lombok Tengah NTB
Foto: Dok hiru muhammad
Suasana dusun Sasak Ende, Lombok Tengah NTB

REPUBLIKA.CO.ID, LOMBOK TENGAH -- Menjalin cinta hingga melaju ke jenjang pernikahan adalah impian yang umum bagi setiap pasangan yang dimabuk asmara. Alur yang biasanya dilalui setelah pihak laki-laki dan perempuan merasa saling cocok adalah tahap lamaran dan dilanjutkan dengan pernikahan. Namun bagi masyarakat Suku Sasak, perjalanan cinta menuju bahtera rumah tangga tidak sesederhana itu.

Lupakan lamaran, karena meminta anak gadis kepada orang tuanya secara baik-baik justru dianggap sebagai sebuah pelecehan. Dalam tradisi Sasak, gadis yang akan dinikahi harus diculik dari rumahnya. "Kalau anak gadis diminta baik-baik malah keluarganya merasa dilecehkan karena anaknya dianggap sebagai barang," kata pemandu wisata Dusun Sade di Lombok, Bagiawan kepada Republika.co.id belum lama ini.

Menurut Bagiawan, sejak zaman nenek moyangnya pernikahan baru akan terjadi bila pihak laki-laki berhasil menculik pujaan hatinya pada malam hari. Tradisi ini disebut merari dan sampai sekarang masih berlaku di kalangan Suku Sasak Dusun Sade. Bila penculikan dilakukan pada pagi, siang, atau sore maka laki-laki tersebut akan dimintai denda oleh keluarga perempuan. Wujud denda bisa bermacam-macam, mulai dari sehelai kain hingga kerbau yang jumlahnya ditentukan pihak perempuan.

Sebelum diculik, laki-laki perlu mengabari dulu kepada perempuan jika nanti malam akan diculik. Selain itu, tetangga di sekitar juga diberi tahu agar tidak ada yang mengira dirinya akan berbuat jahat. Saat malam tiba, laki-laki pun akan bertandang ke rumah perempuan. Kedua orang tua perempuan yang sudah paham skenario merari selanjutnya akan berpura-pura pergi ke rumah tetangga. Pada saat rumah sepi itulah sang gadis dibawa kabur.

"Pasangan akan bersembunyi di lorong-lorong perkampungan sehingga tempat pelarian itu dinamakan lorong cinta," jelas pria yang juga tinggal di Dusun Sade itu. Setelah skenario merari berhasil dijalankan, barulah kedua sejoli tersebut bisa dinikahkan. Namun, asal tahu saja drama penculikan ini tidak boleh tersebar jauh-jauh hari.

"Misal ada laki-laki sudah diisukan warga kampung akan menculik seorang gadis sejak jauh hari, maka laki-laki akan malu. Dia akan menunda merari sampai satu atau dua bulan ke depan," terang Bagiawan. Artinya, merari harus dilakukan secara 'dadakan' dan bersih dari gosip.

Setelah menikah, masyarakat Sasak pun mengenal momen bulan madu. Uniknya, mereka hampir tidak pernah berbulan madu keluar kampung. Sebagai gantinya, pengantin baru akan tinggal di sebuah rumah kecil bernama Bale Kodong. Mereka akan tinggal di sana selama tiga hari tiga malam dan tidur beralas tikar pandan.

"Bulan madu suku Sasak tidak tidur di kasur tapi beralas tikar pandan. Sebelum menikah seorang laki-laki harus menganyam dua lembar tikar pandan untuk alas berbulan madu," tutur Bagiawan.

Sebaliknya, aturan yang hampir sama juga berlaku untuk pihak perempuan. Seorang perempuan belum boleh menikah jika ia belum bisa menenun. "Di sini perempuan menikah di usia 14 sampai 15 tahun. Bila sudah menginjak usia 20-an belum menikah maka dianggap perawan tua," jelas Bagiawan membeberkan tradisi setempat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement