Ahad 05 Nov 2017 09:43 WIB

Berjualan dengan Bersedekah Ala Naya Slime

Almeyda Nayara Alzier (tengah) memperagakan pembuatan slime dalam workshop membuat slime di Kidzania Jakarta, akhir pekan lalu.
Foto: Karta Raharja Ucu/ Republika
Almeyda Nayara Alzier (tengah) memperagakan pembuatan slime dalam workshop membuat slime di Kidzania Jakarta, akhir pekan lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, "Sedekah itu bukan empat dikurang dua sama dengan dua. Dengan sedekah nanti rezeki kita akan ditambah. Jadi bagi teman-teman yang membeli slime berarti juga ikut bersedekah," ucap Almeyda Nayara Alzier, selebgram dan youtubers dalam workshop membuat slime di Kidzania Jakarta, akhir pekan lalu.

Menjadi pengusaha dengan omzet puluhan juta rupiah, tidak membuat Naya lupa membagikan rezekinya kepada yang membutuhkan. Ia pun mengusung tagline 'berjualan dengan sedekah', yakni Naya selalu menyedekahkan sebagian penghasilannya untuk umat.

Naya bercerita awal mula menyedekahkan sebagian penghasilannya. Ketika sedang mengaji di mushala dekat rumahnya, Naya melihat Iqra dan Juz Amma sudah banyak yang rusak. "Jadi saya bilang ke mama, bagaimana kalau uang hasil jual slime disedekahin untuk beli Iqra," ucap Naya.

Siapa sangka, bisnis slime milik Naya yang dirintis sejak 2015 kini mulai menggurita dan memiliki penghasilan yang membuat isi kantong anak 10 tahun ini menggelembung. Omzet bisnis slime milik Naya mencapai Rp 60 juta per bulan.

Didampingi sang mama, Naya merawikan awal mula merintis bisnis slime. Naya mengaku mulai mencoba membuat mainan bertekstruk kenyal itu sejak kelas 3 SD. "Awalnya melihat kakak kelas membawa sliem," kata Naya membuka cerita.

Karena penasaran, Naya mencari turorial membuat slime di Youtube. "Setelah pulang sekolah saya langsung browsing di Youtube cara membuat slime. Lalu bereksperimen," ujar Naya.

Naya mengaku suka membuat dan berbisnis slime karena mainan berupa jelly itu sesuatu yang lucu. "Waktu itu belum ada mainan seunik itu pokoknya unik," ucap Naya.

Siswi kelas 5 SD Plus Islamic Village, Karawaci, Tangerang ini memperkenalkan kreasi slimenya di sekolah saat ada kegiatan enterpreneur yang diadakan setiap bulan. “Naya memberanikan diri menjual slimenya di sekolah dan alhamdulillah temen-temennya suka,” kata Imelda Liana Sari, mama Naya.

Naya berkata, awalnya teman-teman tanya, ‘ini apa sih?’ Saya bilang ‘ini slime’. "Dan akhirnya temen saya makin lama makin suka, akhirnya pada beli,” kata Naya.

Namun sang mama mengaku tidak mendukung eksperimen Naya membuat slime. Selain karena bahan yang dipakai adalah bahan-bahan kimia seperti deterjen, rumah juga jadi berantakan karena upaya Naya membuat slime. "Sampai dia (Naya) membuat slime di kamar mandi memakai blitz handphone," ucap Imelda.

"Pertama kali buat slime awalnya gagal beberapa kali, sempet dimarahin mama karena rumah berantakan. Tapi kalau eksperimen belum berhasil aku tidak putus asa dan selalu mencoba sampai berhasil,” tambah Naya sembari berusaha meyakinkan mamanya bahwa ia sedang berkreativitas.

Bisnis Naya sempat diterpa isu tak baik. Ia disebut terkena penyakit kanker karena slime. Karena alasan itu, orang tua Naya mengurus slime buatan anaknya untuk mendapatkan label Standar Nasional Indonesia (SNI). Dengan begitu, anak-anak di atas 6 tahun bisa bermain slime tanpa khawatir terhadap bahaya zat kimia.

Imelda mengaku mendapatkan label SNI bukan hal mudah. "Ini bukan proses yang mudah, butuh lama. Tapi yang penting slime Naya sudah aman. Kita juga meminimalisir penggunaan bahan kimia agar tidak berbahaya bagi anak-anak. Karena memakai bahan yang tidak berbahaya, slime milik Naya tidak bertahan lama," ujar Imelda seraya mengatakan sudah 10 produk slime Naya yang telah mendapatkan label SNI.

Dibantu 14 karyawannya, saban hari bisa memproduksi 50-80 kilogram slime. Masalah penjualan, Naya menjual produk slimenya melalui instagram dibantu sang kakak.

“Awalnya aku pakai Instagram mama lihat olshop, lalu aku minta tolong ke abang aku untuk bikin akun Instagram sendiri dan upload barang yang mau dijual,” ujarnya.

Karena kesibukannya sekolah, Naya mempercayakan pembuatan slime kepada ke-14 karyawannya yang dipanggil kakak. Ia pun hanya membuat slime ketika libur sekolah. "Meski Naya yang menggaji kakak-kakaknya setiap bulan, saya selalu menekankan agar Naya tetap hormat dan tidak berbicara kasar kepada karyawannya. Sopan santun harus diutamakan," kata Imelda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement