REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Jika mendengar nama jengkol, anggapan orang langsung tertuju kepada salah satu ciri utama buah asli Indonesia tersebut, bau yang menyengat dan khas. Bau ini pun masih dapat tercium saat jengkol tersebut telah diolah sebagai masakan. Tidak hanya itu, bau khas jengkol ini juga masih tersisa dan dapat tercium dari mulut orang yang mengkonsumsi jengkol.
Bau inilah yang kerap membuat jengkol seolah dikategorikan sebagai makanan kampungan, yang identik dengan makanan untuk golongan ekonomi kelas bawah. Namun, jika menilik potensinya sebagai olahan kuliner khas Indonesia, Jengkol memiliki potensi yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Dilihat dari persebarannya, jengkol memang dapat dengan mudah ditemukan di hutan di Indonesia, terutama di wilayah pegunungan. Maka, tidak mengejutkan, jika jengkol menjadi salah satu makanan yang cukup populer di Indonesia.
Menurut pakar buah tropis dari Institut Pertanian Bogor, Reza Tirtawinata, jengkol termasuk ke dalam buah polong-polongan dan bisa tumbuh subur di wilayah pegunungan, terutama dengan ketinggian rata-rata 500 hingga 700 meter di atas permukaan laut. ''Jengkol lebih mudah beradaptasi di daerah berbukit-bukit dan pegunungan. Tidak cocok di daerah pantai, ataupun di daerah yang ketinggian mencapai di atas 1.000 meter,'' kata Reza saat ditemui Republika.co.id di Pusat Research Inagro, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.
Reza menambahkan, di seluruh daerah di Indonesia, terutama di daerah pegunungan, pasti memiliki tanaman jengkol. Karena itu, tidak ada daerah yang bisa secara spesifik disebut sebagai daerah penghasil jengkol. Asalkan berada di daerah pegunungan, maka daerah tersebut bisa cocok untuk ditanami jengkol. ''Bogor sebenarnya jadi tempat ideal untuk bisa menanam jengkol. Kemudian ada Pandeglang dan Banten. Selain itu, di Sumatera juga cukup banyak. Di sepanjang Bukit Barisan, pasti ada jengkol. Asal bukan daerah pantai dan rawa, jengkol bisa tumbuh di tempat tersebut,'' kata Reza.
Reza menjelaskan, saat ini memang belum ada varietas jengkol yang spesifik di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari cara bertanam jengkol di Indonesia, yang masih dilakukan dengan menanam biji. Sehingga, variasinya bisa sangat luas, tidak ada jengkol yang persis sama antara satu dengan yang lainnya. Dari seribu pohon, bisa muncul seribu jenis pohon yang berbeda-beda. Kondisi ini akan jauh berbeda jika cara penamanam jengkol dilakukan dengan cara dicangkok ataupun okulasi.
Terkait kualitas jengkol, Reza menyebutkan, berbeda dengan petai yang kualitasnya bisa langsung dinilai lewat tampilan luar, jengkol berkualitas harus dirasakan terlebih dahulu. Tingkat kegurihan dan keempukan dari jengkol tersebut menjadi tolak ukur dari kualitas jengkol tersebut.
Reza pun menuturkan, meski memiliki bau yang khas, tapi kandungan gizi dari jengkol terbilang lengkap. Mulai dari kandungan protein dan asam amino. Bahkan, sebagai asupan makanan, jengkol sebenarnya bisa dijadikan sumber protein pengganti protein hewani. ''Makanya, kalau membuat Rendang Jengkol, itu rasanya gurih seolah-olah rasanya seperti daging. Jadi tinggal kita pintar-pintar mengolahnya menjadi masakan yang nikmat,'' tutur Reza.
Sebagai olahan makanan, jengkol pun dianggap memiliki potensi untuk bisa diperkenalkan sebagai makanan khas Indonesia. Terlebih, saat ini, sudah banyak restoran-restoran yang menawarkan jengkol dalam pilihan menu mereka. Menurut Ketua Komunitas Republik Petai dan Jengkol, Puji Permana, bukan tidak mungkin pada masa mendatang, olahan kuliner jengkol bisa seperti nasi goreng ataupun rendang, yang dikenal sebagai salah satu makanan khas Indonesia.
''Sekarang dunia sudah tahu rendang dan nasi goreng sebagai makanan khas Indonesia. Saya rasa, pada masa mendatang, petai dan jengkol juga bisa,'' kata Puji.