REPUBLIKA.CO.ID, Sehabis Maghrib, Kamis (20/7), kami meninggalkan Pantai Pulau Merah, kembali ke Banyuwangi. Tiga jam perjalanan untuk bisa makan malam di Banyuwangi. Warung Nasi Tempong Mbok Nah di Jl Kolonel Sugiono masih buka, dan bersegeralah kami memesan di sisa waktu sebelum warung ini tutup pukul 22.00.
‘’Selama di sini, kalian harus mencoba kuliner khas Banyuwangi,’’ ujar Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, ketika menerima kami di ruang kerjanya, Kamis siang. Ia lalu menyebut beberapa kuliner khas Banyuwangi. Siang itu ia menawari kami makan kupat sayur. Camilan khas Banyuwangi memenuhi meja di ruang kerjanya. Berkali-kali ia meminta kami mencicipi, di antaranya rangginang dan bagea.
Menyajikan kuliner dan camilan khas Banyuwangi menjadi salah satu instruksi Bupati ke lingkungan perkantoran dan masyarakat Banyuwangi. Buah-buahan hasil kebun di Banyuwangi juga menjadi hal yang harus disajikan menggantikan buah impor. Buah impor terlarang dikonsumsi di Banyuwangi.
Untuk menaikkan pamor kuliner Banyuwangi, festival kuliner rutin dilakukan. ‘’Bupati selalu mendorong agar masyarakat memunculkan kembali kuliner khas Banyuwangi,’’ ujar Plt Kepala Dinas Koperasi dan UKM Banyuwangi Alief Rachman Kartiono, dalam jamuan makan malam. Malam itu ada pecel pitik yang disajikan hotel tempat jamuan makan diadakan.
Kuliner khas Banyuwangi cukup beragam. Ada nasi tempong, nasi cawu, rujak soto, pecel kangkung, pecel pitik, dan sebagainya. Menu nasi tempong menjadi berbeda karena sambalnya. Hal ini yang menurut Derira Tarisa membuat nasi tempong menjadi istimewa yang membuat penasaran tamu-tamu yang berkunjung ke Banyuwangi. ‘’Pedas, tapi cepat reda dan nggak bikin sakit perut,’’ ujar Derira, rekan seperjalanan.
Menunya sebenarnya hanya nasi, lalapan, tahu, tempe. Harganya Rp 6.000. Lauk bisa minta ditambah berupa hati ayam, daging ayam, ikan goreng, ikan pepes, ikan asin, telur dadar, bakwan, dan sebagainya. Tentu harga menjadi berbeda.
Dengan pepes hati misalnya, harga menjadi Rp 11 ribu. Dengan lele juga Rp 11 ribu. Yang paling mahal dengan ikan kembung, harga Rp 13 ribu. Triluna Dessita mulanya mengaku bingung untuk memulai makan nasi tempong. ‘’Nasi tempong itu lauknya numpuk, bingung mana duluan yang harus dimakan,’’ ujar Triluna, juga teman seperjalanan. Ia mengaku menyukai sambalnya.
Apa yang membuat sambal ini istimewa? ‘’Bumbunya biasa saja, ada garam, terasi, gula, yang diulek terlebih dulu, jika sudah halus lalu dicampur dengan ranti, lalu dikasih jeruk sambal,’’ jelas Rahnah, pemilik Warung Mbok Nah.
Ranti adalah jenis tomat, yang menurut Triluna tebal dagingnya. ‘’Tak banyak airnya,’’ ujar Triluna setelah mencicip ranti.
Peminat nasi tempong memang lumayan banyak. Terlebih, kata Mbok Nah, setelah pariwisata digiatkan di Banyuwangi. ‘’Pagi hari dari jam sembilan sampai jam dua siang habis beras setengah kuintal, siang hari dari jam dua sampai malam habis beras satu kuintal,’’ ungkap Mbok Nah.
Untuk cabai sebagai bahan sambal, pagi hari menghabiskan 10 kg, sore hari menghabiskan 20 kg. ‘’Tempong itu bahasa Madura artinya kampleng, tempeleng, rasa sambalnya seperti ditempeleng,’’ kata Mbok Nah yang memulai usaha sejak akhir dekade 1980-an di warung tenda pinggir jalan seberang warungnya yang sekarang.
Awal buka warung nasi tempong dulu, Mbok Nah hanya memasak satu kilogram beras. Pelanggannya anak-anak sekolah karena harganya cukup murah, Rp 150 ribu. Sekarang beras yang dimasak mencapai 1,5 kuintal. Mbok Nah-lah yang pertama kali berjualan nasi tempong di Banyuwangi. Ia asli Madura yang menikah dengan pemuda Banyuwangi.
Setiap hari kini ia belanja untuk warungnya sebanyak Rp 6 juta, dengan penghasilan bisa mencapai Rp 8 juta. Saat kami datang, kami berebut antre memesan makanan, melupakan pasanan yang ditulis di daftar pesanan.
‘’Kalau yang penasaran banget, nyesal jika nggak sempet nyobain, tapi sesudah makan sih biasa saja,’’ ujar Elva Dwi, juga teman seperjalanan.
Nasi tempong dengan pepes teri