REPUBLIKA.CO.ID, PURBOLINGGO – Edelweis, sebuah nama yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia terutama para pendaki gunung. Bunga yang selalu berada di tempat dataran tinggi seperti pegunungan ini selalu menjadi ikon menarik para pendaki. Bukan saja kecantikannya, tapi makna yang tertanam pada bunga berwarna putih tersebut.
Sebuah lambang dari cinta yang abadi membuat siapapun tergoda memetik dan memberikannya kepada seseorang yang dikasihi. “Banyak anak muda yang memetik bunga itu untuk pasangannya,” ujar Penyuluh Kehutanan Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BBTNBTS), Birama Terang Radityo kepada wartawan di Balai TNBTS Purbolinggo, Jawa Timur.
Karena daya tarik itu, banyak juga masyarakat sekitar TNBTS mencoba menjual bunga ini kepada para wisatawan dan pendaki. Birama menyatakan, hal-hal inilah yang membuat timbul kekhawatiran dari pihaknya. Pihaknya khawatir tindakan tersebut dapat membuat bunga itu tidak bisa bertahan hingga akhirnya punah nantinya.
Dalam mengantisipasi itu, Birama mengatakan, pihaknya sudah sejak lama memberikan edukasi pada para wisatawan untuk tidak memetik edelweis. Bahkan, peringatan itu juga sudah disampaikan pada para penjual. Pihaknya tidak segan-segan melakukan jalan hukum bagi mereka yang tak patuh pada peringatan itu.
Rasa khawatir akan keberlangsungan edelweis juga timbul dari adat istiadat masyarakat Tengger. Menurut dia, bunga ini acap dijadikan salah satu bahan sesajen pada upacara adat tertentu. Di mata Suku Tengger, edelweis dianggap sakral dan dikenal dengan sebutan “Tana Layu” yang berarti tidak layu. Artinya, mereka berharap leluhur mereka tetap abadi.
“Itu wajib dan tidak bisa dhindarkan. Jadi kita tidak bisa menolak atau melarang bagian dari adat bangsa tersebut,” tegas dia.
Melihat permasalahan-permasalah tersebut, Birama menyebutkan, pihaknya pun mulai intensif membudidayakan edelweis sejak 2014. Bahkan, telah mengupayakan membentuk 'Kampung Edelweis' untuk beberapa waktu ke depan. Konsep dan edukasi telah diluncurkan ke masyarakat belakangan ini.
Sejauh ini, Birama menjelaskan, Desa Wonokitri dan Ngadisari telah mendapatkan edukasi tentang budidaya yang nantinya ditunjukkan untuk membentuk Kampung Edelweis. Di Ngadisari, kantor TNBTS dan beberapa sekolah telah membentuk taman budidaya edelweis. Namun sayangnya, sampai saat ini belum dapat menyentuh masyarakat karena mereka masih belum mendapatkan contoh terbaik dalam membudidayakan edelweis.
“Masih belum ada yang mendahului di masyarakat, jadi masih pada ragu walau sebenarnya sudah ada di sekolah dan di TNBTS. Kita akan terus berupaya secara maksimal, tinggal masyarakatnya ini yang masih tantangan. Semoga akhir tahun bisa terwujud membentuk kampung edelweis yang tujuannya di setiap rumah dapat menanam bunga itu,” kata dia.
Secara keseluruhan, Birama menyebutkan, sejumlah taman budidaya edelweis yang telah dibentuk sampai saat ini. Beberapa di antaranya seperti di Cemoro Lawang, Penanjakan, SDN Ngadisari 1 dan 2, SDN Ngadirejo, SDN Wonokerto 2, Pura dan Unden Keramat di Wonokitri. “Dengan adanya taman ini, mereka tinggal memetik bunga di halamannya tanpa harus jauh-jauh cari di TNBTS,” kata dia.
Dengan adanya konsep ini, Birama berharap, edelweis dapat terhindar dari kepunahan. Sebab, dia maupun pihaknya tidak pernah tahu seberapa lama bunga ini akan bertahan di kawasan tersebut. Terlebih lagi jumlah pertumbuhan masyarakat yang terus meningkat dan mungkin saja membahayakan keberadaan bunga cinta abadi itu.
Di kesempatan berbeda, Warga Tengger, Ngatawi mengaku, edelweis begitu sangat dilindungi dan dianggap berharga. Bukan saja oleh pemerintah yang terus-terusan menekankan peringatan, tapi dari adat istiadat sukunya. Menurut dia, bunga ini memang selalu dijadikan bahan sesaji di setiap acara adat istiadat.
Di kediamannya sendiri, pria baya ini mengatakan, telah memiliki taman bunga yang berada di belakang rumah. Salah satu di antara tanaman itu, dia memiliki edelweis. Namun sampai saat ini belum berbunga dan masih didominasi dengan daun-daunnya.