Rabu 17 May 2017 14:23 WIB

Menggambar untuk Ekspresi Diri

Rep: Umi Nur Fadilah/ Red: Indira Rezkisari
Anak melukis
Foto: Republika/Prayogi
Anak melukis

REPUBLIKA.CO.ID, Nabila memulas krayon kuning di kertasnya. Sembari menunduk, ia memiringkan kepalanya, ke kanan, ke kiri. Sekedar ingin memastikan pulasan yang ada di kertasnya serupa dengan gambar wayang di depannya.

Siswa PAUD KM 0 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) itu tenggah belajar menggambar wayang. Di bawah arahan perupa, Yuswantoro Adi, Nabila bersama teman-temannya mempraktikkan teknik menggambar.

"Sering kali kita bingung menggambar, takut kalau hasilnya tak sama," kata Yuswantoro menyemangati Nabila dan teman-temannya di Plasa Insan Kemendikbud, Senayan, Jakarta, Rabu (17/5).

Ia mengajarkan anak-anak menggambar dengan cara sederhana. Misalnya menarik garis antara dua titik, ikan dan lain-lain. Ia berpesan, setiap orangtua harus mengapresiasi karya anak-anaknya. Sebab, itu merupakan semangat dan dorongan agar anak lebih kreatif.

Pengajaran menggambar ini merupakan rangkaian acara lokakarya dan pameran seni rupa Kemendikbud. Kegiatan tersebut juga memamerkan sejumlah karya dari 10 seniman disabilitas atau berkebutuhan khusus.

Direktur Kesenian Ditjen Kebudayaan Kemendikbud, Restu Gunawan berujar, seni memiliki arti yang luas, mulai dari hiburan hingga penguatan karakter. Pun, seni mengajari anak-anak menumbuhkan sikap toleransi. Selain itu, ia menyebut, seni juga efektif menjadi metode pengobatan atau terapi bagi anak berkebutuhan khusus.

"Setiap orang ada potensi dan kelebihan masing-masing," ujar Restu.

Ia menuturkan, lokakarya dan pemeran seni rupa memberi ruang bagi penyandang disabilitas untuk berkreasi. Ia meyakini, forum seperti ini bisa membuat penyandang disabilitas berjejaring.

"Butuh orang-orang yang meyakinkan, mereka tak sendiri. Kita ingin buat networking antara mereka," ujar dia.

Salah satu perupa yang menjadi peserta workshop dan pameran seni rupa Kemendikbud, yakni Anfield Wibowo. Ia membawa sejumlah karya-karyanya untuk dipamerkan bersama peserta lainnya.

Anfield adalah perupa berusia 12 tahun yang mengalami tuna rungu total dan sindrom asperger. Sindrom tersebut merupakan gelaja autisme, di mana penderitanya sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.

Ayah Anfield, Donny Mardonius menuturkan, kecintaan anaknya terhadap dunia lukis sudah terlihat sejak balita. Pertama kali memegang pensil, Anfield bisa menghubungkan dua titik menjadi garis lurus. Saat itu, Donny menyadari anaknya merupakan pribadi yang percaya diri. Psikolog bilang, Anfield memiliki kemampuan otak kanan yang kuat.

"Antara seniman atau bukan, tapi semakin besar, semakin kelihatan jiwa seninya," jelasnya.

Namun, ia mulai melukis di atas kanvas sejak usia tujuh tahun. "Dia suka lukis sejak kecil. Otodidak, ada gurunya, tapi hanya menemani, tidak mengajari," tutur Donny.

Anfield melukis untuk mengekspresikan apa yang ada di hatinya. Ia tidak suka melukis dengan tema atau arahan.

"Dia sudah memposisikan diri sebagai pelukis. Dia lebih nyaman dengan aliran ekspresionis," ujar dia.

Anfield cukup produktif. Setidaknya, sudah 600 karya yang dihasilkan pelajar kelas V SLB Budi Mulya itu. Ia juga sudah tiga kali menggelar pameran tunggal di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement