REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada semacam kekhawatiran di benak Ida Murni (28 tahun) melihat perkembangan anak-anak saat ini. Banyaknya sosial media dan semakin terbukanya internet, cukup meresahkan ibu satu anak ini.
Dia merasakan hal yang berbeda ketika ketika ia kecil dididik oleh orang tuanya dan saat ini, ketika melihat anak semata wayangnya yang masih berusia tiga tahun. Menurut dia, sosial media membuat anak-anak menjadi lebih dewasa dibandingkan umur yang sesungguhnya. Ibu satu anak ini pun merasa lebih harus protektif dalam menjaga putranya.
Psikolog Anna Surti Arianti menuturkan memang ada tantangan yang berbeda dalam mendidik anak pada zaman sekarang ketimbang masa dulu. Meskipun, menurut dia, bukan berarti membesarkan anak zaman sekarang lebih sulit.
Menurut dia, pada pada dasarnya mendidik anak sama sulitnya. Namun, orang tua masa kini memiliki tantangan yang berbeda dengan saat mereka dibesarkan dulu. Alhasil, membesarkan anak tidak bisa dilakukan dengan cara yang sama.
Anak-anak saat ini, kata dia cenderung terbiasa dengan kehidupan yang serbainstan. Anak-anak kini juga sangat terbiasa dengan gadget. Soal gadget ini, kata dia, anak-anak dengan sangat mudah mendapatkan informasi dari mana saja. Dengan gadget pula, kata dia anak-anak dengan mudah terhubung dengan dunia global.
Melihat tantangan yang demikian, orang tua berperan besar dalam pengasuhan anak. Orang tua, kata dia tetap harus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Orang tua tidak boleh menutup diri dari kemajuan teknologi, namun anak tidak boleh mendapatkan gadget dengan cuma-cuma.
Menurutnya, orang tua berperan untuk menentukan kapan anak sudah bisa diizinkan menggunakan gadget. Misalnya, sebelum anak berusia dua tahun, anak belum boleh menggunakan gadget. Ketika sudah mulai besar, anak diizinkan menggunakan gadget, meskipun durasinya tetap dibatasi. "Itupun isinya kita pantau," kata dia ketika dihubungi, Kamis (23/6).
Visi misi orang tua
Founder Komunitas Sahabat Ayah, Bendri Jaisyurrahman menambahkan, keluarga berperan sentral dalam pola pengasuhan anak. Orang tua, kata dia, harus menjadi teladan dan memiliki visi misi pengasuhan anak. Karena bagaimanapun orang tua adalah orang paling dekat yang bisa dilihat oleh anak setiap harinya.
Menurut dia, jika orang tua telah memiliki visi dan misi, nantinya mereka juga akan memilih lingkungan yang baik untuk mendidik anak. Yaitu yang sesuai dengan visi misinya, termasuk dalam memilih sekolah.
"Anaknya mau dibikin kaya apa? Jangan terserah bapak (menyerahkan kepada sekolah-red), yang penting anaknya baik," kata dia.
Dia menuturkan, pendidikan adalah sebuah amanah. Pendidikan tidak bisa dilakukan orang tua sendiri. Orang tua memerlukan mitra dalam mendidik anak, termasuk guru di sekolah atau ustaz di tempat mengaji. Dengan orang tua yang memiliki visi dan misi jelas dalam pendidikan, orang tua akan memilih mitra-mitra yang sesuai untuk menjalankan visi misinya.
Jika memiliki visi dan misi yang baik, kata dia, orang tua tidak akan asal memilih sekolah. Alhasil pembinaan kepada anak bisa dilakukan dengan baik. Orang tua juga perlu mengomunikasikan nilai-nilai apa saja yang ingin diterapkan kepada para mitra pendidik.
Apalagi, dia mengatakan, tanggung jawab pendidikan tetap berada di tangan orang tua. Ketika anak sedang berada di sekolah, maka orang tua menitipkan tanggung jawab atau amanah tersebut kepada guru. "Dalam hal ini guru menjalankan amanah orang tua," kata dia,
Orang tua pun perlu menyeleksi pihak-pihak yang akan menerima amanah pendidikan ketika di luar. Namun, hal tersebut hanya bersifat sementara sebab tugas mendidik oleh orang tua berlaku seumur hidup. "Tanggung jawab orang tua adalah seumur hidup," kata dia.