Ahad 08 May 2016 13:58 WIB
Sastra

Bincang Sastra Bersama Penulis Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: M Akbar Wijaya
Sastrawan Yusi Avianto Pareanom
Foto:
Novel Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom

Menurut Mas Yusi apa problem paling serius penerbit di Indonesia?

Latah. Jadi kalau satu judul dari satu pengarang laris, maka buntutnya banyak banget. Tapi, mungkin justru ini yang membuat mereka besar, karena aman. Mestinya, penerbit besar harus lebih berani berkesperimen. Tapi, mungkin makin besar makin takut bereksperimen. Kenapa mesti mengubah formula kalau terbukti sukses?

Bagaimana dengan masalah monopoli?

Mbok disebut saja secara khusus, yakni Gramedia. Gramedia kan punya bisnis dari hulu ke hilir. Dalam undang-undang persaingan usaha tidak boleh ada monopoli. Tapi, tidak ada yang menggugat. Mereka punya pabrik kertas, percetakan, penerbit, gerai, punya surat kabar untuk mengiklankan. Di Amerika Serikat, studio film tidak boleh memiliki bioskop. Harus terpisah. Kalau studio punya bioskop, nanti studio lain tidak bisa memutar filmya di bioskop-bioskop itu.

Apa itu alasan mengapa novel Raden Mandasia belum dijual di toko buku mainstream?

Buku-buku terbitan Banana sebelumnya kami jual ke Gramedia dan Gunung Agung kok. Tapi. untuk Mandasia ini memang belum. Sengaja.  Bagi penerbit di luar kelompok Gramedia, ada yang lebih menakutkan sebenarnya ketimbang besarnya persentase hasil penjualan yang harus dibagi kepada distributor dan toko buku: umur buku di rak yang terlalu pendek. Kadang-kadang beberapa buku “panasnya” lambat. Orang baru omongin, bukunya sudah tidak ada saat dicari. Saya tidak bilang tidak akan memasukkan Mandasia ke toko buku besar. Tapi, nanti dulu. Kalau tuntutan  ke situ ada,  ya kami kirim, untuk mempermudah akses pembaca. 

Raden Mandasia sudah laku berapa?

Hampir 1500 dalam sebulan pertama, tidak buruk. Kami mencetak 3000.

Kalau melihat buku-buku yang laris dan menjadi best seller di pasaran, Mas Yusi melihat karateristik pembaca di Indonesia seperti apa?

 Karakteristik pembaca Indonesia cukup beragam. Untuk menilai secara spesifik butuh data. Tapi, sepertinya pembaca karya fiksi motivasional paling banyak. Tidak ada persoalan sih. Begini, best seller itu rejeki masing-masing.

Menurut Mas Yusi faktor apa yang bisa menentukan sebuah karya bestseller?

Itu kombinasi banyak hal. Ada promosi, distribusi, keberuntungan, mungkin juga si pembaca merasa terhubung dengan karya itu. Jadi kalau karya-karya fiksi motivasional laku berarti pembacanya memang ingin dimotivasi. Ingin mendapatkan beasiswa ini atau itu. Hehehe.

Kriteria buku yang bagus dan berkualitas itu apa?

Seluruh unsurnya bagus dan beres. Mau cerita, deskripsi, dialog, semua bagus.

Menurut Mas Yusi buku yang menjadi best seller di Indonesia sudah memenuhi unsur itu?

Kalau fiksi-fiksi motivasional itu jelas enggak. Tapi, ini ukuran saya lho ya. Bisa saja saya dilempari batu banyak orang karena omong begini. Hahaha. Tapi, memang menurut saya tidak bagus. Sayang, kita tak punya cukup lembaga atau media otoritatif yang saat mengatakan 'hei, buku yang bagus yang ini, bukan yang itu' yang dijadikan panutan pembaca.

Bagus tidaknya suatu karya kan bisa sangat relatif?

Tidak. Bedakan antara kualitas dan selera. Ada orang yang berselera makan gado-gado, ada yang suka makan bakso. Itu selera. Tapi, gado-gado kan juga berbeda-beda kualitasnya? Gampang kok menilai kualitas. Periksa saja standar kalimatnya, SPOK-nya bermasalah tidak? Kosakatanya kaya tidak? Diksinya pas tidak? Ceritanya klise atau tidak? Kalau masih menggunakan idiom-idiom yang klise ya repot. Masa tidak ada kebaruan. Penyikapan terhadap masalah, klise atau tidak? Tukang foto sudah menghindari klise sejak beberapa tahun lalu. Masa penulis masih mau menggunakan klise. Hahaha.

 Mandasia ini bukan karya mainstream. Sempat terpikir akan laku atau tidak?

Repot kalau berkarya memikirkan akan laku atau tidak. Karena begini, katakanlah yang laku sekarang adalah buku karya Mas Darwis atau Mas Tere Liye. Bukunya misalkan laku sampai cetak ulang 29 kali. Nah itu kan menggiurkan sekali. Tapi, kalau misalkan saya menulis dengan gaya dan tema yang ia kerjakan, dan ternyata tidak laku, saya rugi berapa kali? Pertama, rugi tenaga, waktu, dan uang. Kedua, diangap pengekor. Ketiga, melakukan pekerjaan yang tidak saya senangi. Masa iya saya mau secelaka itu? 

Sekarang aktif di mana?

Di Banana dan Dewan Kesenian Jakarta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement