Ahad 08 May 2016 13:58 WIB
Sastra

Bincang Sastra Bersama Penulis Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: M Akbar Wijaya
Sastrawan Yusi Avianto Pareanom
Foto: M Akbar Wijaya/ Republika
Sastrawan Yusi Avianto Pareanom

REPUBLIKA.CO.ID, Yusi Avianto Pareanom lahir di Semarang. 9 November 1968. Yusi menulis beberapa buku fiksi dan nonfiksi. Buku fiksinya yang telah terbit adalah Rumah Kopi Singa Tertawa (2011) dan Grave Sin No. 14 and Other Stories (2015, terbit dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Jerman). Yusi baru saja diangkat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta juga aktif menyunting dan menerjemahkan karya-karya penulis asing ke dalam Bahasa Indonesia. Pada Maret 2016 lalu Yusi menerbitkan novel perdananya Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi. Novel ini mendapat apresiasi luas dari kalangan pembaca, khususnya generasi muda, karena dinilai memiliki banyak kebaruan dalam unsur tema maupun gaya bercerita. Di tengah kesibukannya,  wartawan Republika M. Akbar Wijaya dan Fuji Pratiwi berkesempatan mewawacarai pria yang akrab disapa Paman Yusi ini. 

Nama Mas Yusi unik.  Kami ingin tahu apakah nama Yusi Avianto Pareanom itu nama asli?

Kenapa berpikir itu bukan nama asli? Ini nama asli. Saya punya dua kakak laki-laki. Orang tua saya mungkin berharap anak ketiga mereka perempuan dan menyiapkan nama Yusi. Tapi ternyata yang keluar (lahir) seperti ini (laki-laki). Kalau Avianto itu mungkin Karena bapak saat itu sedang suka belajar bahasa Prancis. Diambil dari kata Avion artinya terbang. Sedangkan Pareanom dalam bahasa Jawa artinya padi muda. Memang ada banyak orang yang belum bertemu langsung mengira saya perempuan. Hahaha.

Sejak kapan Mas Yusi mulai menulis?

Saya menulis sejak SMP, memulainya dengan cerita pendek. Lebih aktif lagi setelah kuliah. Saat itu adalah masa-masa peniruan sebetulnya, tapi merasa diri sudah hebat sekali. Kalau dibaca ulang sekarang, bisa nangis. Kok bisa menulis seperti itu? Menyedihkan. Sama seperti anak baru sehari belajar silat. Pulang latihan anak-anak sekampungnya diajak berkelahi.

Yang banyak membantu menumbuhkan minat menulis sewaktu muda adalah buku-buku yang dibawakan ibu saya. Ia guru sekolah dasar. Ayah juga sering membelikan buku, majalah, segala macam. Saya juga suka menyewa komik yang ramai di masa itu. Terus di SMP 3 Semarang, bersama beberapa teman saya mendirikan seperti klub baca--sekalipun tentu waktu itu kami tak tahu bahwa yang semacam itu namanya klub baca. Jadi, ada satu buku yang dibaca beramai-ramai kemudian didiskusikan. Salah satu teman SMP saya adalah penulis A.S. Laksana. Kami berteman sejak 1981. 

Dari membaca saya merasa kok ada dunia yang menarik, kemudian merasa bisa juga membuat dunia yang sama menariknya dengan penulis-penulis itu. Saat SMA, beberapa karya saya sudah dimuat di majalah remaja. Tapi, waktu itu tidak memakai nama sendiri. Saya malah memakai nama macam-macam. Agak menyesal juga jadi tidak terkenal, hehehe. Kemudian kuliah, setelah lulus menjadi wartawan.

Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk merampungkan novel Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi?

Dari 2009 sampai 2015, enam tahun.

Kenapa bisa selama itu, apa kendalanya?

Malas, malas! Malas menjadi kendala utama dan satu-satunya. Hehehe. Saya mestinya lebih rajin. Bukan mencari alasan untuk terus menyegarkan kemalasan. Hahaha. Selain malas, saya tidak cukup militan. Ada periode ketika saya rajin. Kalau lagi asyik, saya bisa menulis cepat. Tapi, ada juga periode ketika saya meninggalkan naskah ini untuk sekian lama. Misalnya, untuk pencarian bahan. Novel Raden Mandasia ini sebenarnya proyek selingan, di samping novel Anak-anak Gerhana yang sekarang sedang saya garap. Cuma, kadang ada urusan-urusan lain di luar dua pekerjaan ini yang menyangkut urusan “ketahanan pangan nasional”. Hahaha.

Sebelum Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi, Mas Yusi menerbitkan juga buku kumpulan cerpen Rumah Kopi Singa Tertawa.  Kenapa sepertinya senang menggunakan judul yang berkaitan dengan hewan?

Itu kepentingan cerita saja. Tidak dimaksudkan khusus menulis hewan. Belum ada arah ke sana. Hanya, ketika menulis tentang hewan, atau yang lainnya, saya memang senang mengelaborasi. Misalnya, ketika saya ingin mendeskripsikan tentang burung, maka saya harus bisa meyakinkan pembaca. Jadi, saya baca buku-buku tentang burung, berkumpul bersama komunitas pecinta burung. Supaya tidak ngawur. Hal yang sama juga berlaku saat menulis tentang pembuatan kapal. Saya kan harus tahu prosesnya agar hasil akhirnya meyakinkan. Tapi apakah saya ingin menjadi orang perkapalan? Tidak. Pengetahuan tentang bahan tulisan itu mutlak. Kalau kita paham bahan dasarnya, mau ditekuk macam apa pun hasilnya akan tetap enak. Bila minim pengetahuan, hasil bagus biasanya karena beruntung saja.

Novel Raden Mandasia ini memuat banyak sekali informasi. Apakah mereka benar-benar bisa digunakan?

Silakan diuji. Dalam fiksi ada yang riil dan yang sepenuhnya fantasi. Kapan pembaca bisa mengenali, itu urusan mereka.

Apakah imajinasi atau fantasi tentang hal-hal riil dalam fiksi perlu dibatasi atau bisa bebas saja?

Yang terpenting dalam cerita fiksi adalah di dalam dirinya sendiri ia mesti logis dan meyakinkan. Misalnya, yang paling gampang, Peter Parker digigit laba-laba radioaktif. Dia berubah menjadi Spider-Man, bukan manusia kura-kura. 

Apa motivasi atau pesan yang ingin disampaikan melalui Raden Mandasia?

Saya ingin menyenangkan diri sendiri saja saat menulis. Biarlah pembaca mencari sendiri pesan-pesan di dalam buku itu. 

Mengapa tokoh-tokoh dalam novel ini tidak ada yang sepenuhnya jahat dan tidak ada yang sepenuhnya baik?

Karena tokoh-tokoh semacam itu yang menarik. Kan tidak ada orang jahat 24 jam sehari atau baik 24 jam sehari.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement