Ahad 08 May 2016 13:58 WIB
Sastra

Bincang Sastra Bersama Penulis Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: M Akbar Wijaya
Sastrawan Yusi Avianto Pareanom
Foto:
Sastrawan Yusi Avianto Pareanom

Bagaimana cara membuat kalimat-kalimat humor yang lucu namun tetap membuat cerita mengalir seperti tergambar dalam karya-karya Mas Yusi?

Latihan saja. Orang bisa melompat lebih tinggi karena latihan, bisa naik sepeda karena latihan. Disiplin saja. Prinsipnya kita tahu dulu apa yang ingin kita tuju. Kalau ada penulis yang ingin kita kejar gaya penulisannya, ya jadikan itu tolok ukur. Pertama mungkin akan ada peniruan. Tapi, kita nanti akan menemukan gaya penulisan versi kita sendiri. Makanya, penting sekali membaca bacaan yang menantang. Ini klise tapi benar, memang harus ada kehausan belajar. Yang berbahaya bagi penulis atau siapa pun itu sebenarnya perasaan puas. Kalau sudah begitu ya harus dihancurkan sendiri, cari bentuk baru lagi. 

Saat Mas Yusi menyisipkan humor secara tiba-tiba dalam dialog-dialog yang serius, apakah tidak ada kekhawatiran hal itu akan menjadi semacam “patahan” yang merusak mood pembaca?

Dalam kehidupan rill kan memang ada patahan-patahan semacam itu. Yang terpenting adalah bagaimana patahan-patahan itu tidak terkesan maksa. Misalnya, dalam adegan perundingan perang, kalau kita sisipkan pembicaraan tentang kencing kan tidak pas. Momen dramatisnya akan hilang. Humor itu ada tempatnya. Kita lihat orang kepeleset kulit pisang, bisa lucu bisa juga tidak. Kita mesti paham porsi dan timing. Penulis-penulis yang saya kagumi rata-rata bisa memanfaatkan humor dalam karya mereka. Baik Steinbeck, Hemingway, Mark Twain, Idrus, dan masih banyak lagi. Tapi, apakah saya sengaja mau membikin cerita lucu? Tidak.

Bagaimana trik membuat tulisan fiksi yang prima, logis, sekaligus menarik?

Sebetulnya sama saja dengan kerja jurnalistik. Pertama-tama, kita tahu tidak apa yang mau kita tulis? Setelah kita tahu, baru kita mencari bahan yang bagus. Caranya dengan reportase, wawancara, riset, dan method writing--melakukan apa yang dilakukan si tokoh agar dapat pengalaman yang lebih otentik. Nulis pelari, ya coba lari  Menulis orang buta, apa harus membutakan diri? Jangan dong, hehehe. Cukup menutup mata selama beberapa hari seperti yang dilakukan anak-anak teater, misalnya. Apakah dengan ini tulisannya jadi bagus? Belum tentu.

Mengapa Mas Yusi menuangkan banyak umpatan yang terkesan agak kekinian. Padahal, setting novel ini zaman kerajaan?

Memang tone-nya saya pilih begitu agar pembaca paham bahwa naskah ini tidak ditulis tahun 50-an, 60-an, atau 70-an. 

Nama tokoh-tokoh Mas Yusi ambil dari mana?

Ada sebagian dari Babad Tanah Jawa. Bisa cek Babad Tanah Jawa isinya apa. Saya pinjam saja nama-nama tokohnya. Ceritanya saya aniaya. Hahaha.

Meski ini fiksi zaman kerajaan tapi dialog-dialognya seperti akrab dengan pengetahuan kita pada masa kini. Dari mana sumbernya?

Terlalu banyak untuk disebut. Saya baca banyak hal. Misalnya, pemikir Yunani yang mati ketiban kura-kura yang dibawa terbang elang, saya masukkan. Pokoknya apa yang bisa saya selundupkan, saya selundupkan. Sebenarnya selundupan budaya pop banyak di Raden Mandasia. Tapi, kalau saya beberkan semua kan nggak enak, saya merampas kenikmatan pembaca. Teka-teki Putri Tabassum, misalnya, saya memodifikasi dari teka-teki lain yang terkenal.  

Apa pandangan Mas Yusi soal penulis yang seperti terjebak dalam klise setiap kali membuat suatu karya?

Penulis biasanya menggarap yang ia tahu. Cuma, saya menolak jatuh ke dalam klise. Gampangnya begini, jika di dalam sebuah cerita kita menjumpai satu tokoh fiksi dengan nama agraris alias ndesa, biasanya nasib tokoh itu buruk. Itu klise menurutku. Tapi, kalau ada teman-teman yang menggarap karya dengan tema dan karakter yang hampir sama sebagai satu bentuk perjuangan atau ideologi dia, boleh-boleh saja. Rendra, misalnya, membuat sajak-sajak pamflet saat periode represif Orde Baru. Cuma, saya tidak punya potongan menggarap sastra bertendens yang ingin menggerakkan orang-orang. Saya hanya ingin berbagi cerita dan pembaca mendapat pengalaman menggembirakan. 

Apa alasan Mas Yusi membuat Penerbit Banana untuk menjual karya-karya Mas Yusi? Apa tidak khawatir mengalami kendala distribusi?

Banana saya dirikan teman kuliah di Fakultas Teknik UGM, Heri Wihartoyo, pada 2005. Dengan Banana, saya ingin memiliki kontrol yang lebih besar mengenai apa yang kami terbitkan. Secara distribusi sebenarnya tidak jauh berbeda antara penerbit kami dan penerbit besar. Cuma, beda di modal. Jadi, judul yang kami keluarkan setiap tahun tidak sebanyak yang kami inginkan. Banana ini penerbit rumahan tapi semoga tidak murahan. 

Ke depan, penjualan buku mungkin akan lebih banyak melalui toko-toko buku komunitas dan online. Toko-toko buku besar mungkin akan lebih menjadi menjadi toko alat tulis. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement