Jumat 08 Apr 2016 10:14 WIB

Memperhatikan Diet Anak Penyandang Autisme

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Indira Rezkisari
Seorang anak dengan autisme akan dinaikkan ke atas mainan sebelum perayaan Hari Autisme Sedunia di Beijing, Cina.
Foto: EPA
Seorang anak dengan autisme akan dinaikkan ke atas mainan sebelum perayaan Hari Autisme Sedunia di Beijing, Cina.

REPUBLIKA.CO.ID, Detoksikasi atau kemampuan tubuh anak penyandang autisme untuk mengeluarkan racun sangat rendah, di bawah 10 persen. Ini menjadi alasan disiplin diet sangat penting untuk penyembuhan mereka.

Anak penyandang autisme pantang mengonsumsi gula, terigu, susu, cokelat, kedelai, jagung, makanan-makanan mengandung kasein, serta buah dengan kandungan fenol tinggi. Ini untuk memperbaiki fungsi-fungsi abnormal pada otaknya supaya saraf bekerja lebih baik dan akhirnya gejala autis bisa berkurang bahkan hilang.

"Diet teratur membantu keberhasilan ABA hingga 40 persen," kata Direktur Klinik Intervensi Dini Applied Behavior Analysis (KIDABA), Liza Anwar R Sutadi kepada Republika.co.id.

Protein kasein dari susu dan bahan gluten dari terigu tidak seluruhnya dicerna sempurna oleh tubuh anak. Makanan-makanan tersebut bersifat toksik pada otak sehingga mengganggu perilaku. Anak autisme juga tidak boleh mengonsumsi gula murni juga olahan, termasuk di dalamnya gula pasir, gula batu, gula merah, gula jawa, gula aren, gula kelapa, madu, sari kurma, hingga gula stevia. Gula dan sisa-sisa gula dalam saluran pencernaan yang tidak terserap membuat jamur tumbuh berlebihan dan akhirnya merusak dinding usus.

Daya serap usus meningkat drastis sehingga bahan-bahan yang seharusnya tidak terserap menjadi terserap, termasuk produk toksik dari jamur, bakteri, dan parasit. Kerja otak anak akhirnya terganggu dan anak kembali menjadi tidak bisa diam dan tenang. Proses terapi pun terganggu dan penyembuhan anak semakin lama.

Semakin banyak anak penyandang autisme mengonsumsi gula, semakin toksik pula kondisi mereka. Jika diet biomedik ini berhasil, anak biasanya bisa tidur sepanjang malam, kemampuan komunikasinya meningkat, ada kontak mata, lebih tenang, dan stimming berkurang.

Sampai kapan diet dilakukan? Jawabannya berbeda untuk masing-masing anak. Ada anak yang perlu terus melakukan diet, ada yang kemudian bisa tidak diet sama sekali, ada yang perlu tetap diet untuk 1-2 jenis makanan, dan ada yang diet dalam porsi jarang atau sejumlah kecil saja. Kabar baiknya adalah kebanyakan anak bisa berhenti diet.

Diet ini tentu saja perlu menunggu sampai usus sembuh sepenuhnya atau 80 persen dari sistem imun di usus kembali bekerja. Ini karena sistem imun sebelumnya terganggu akibat vaksin, bakteri, virus, atau jamur sehingga perlu perbaikan.

Diet pada anak penyandang autisme menggunakan teknik rotasi dan eliminasi, yaitu memberikan makanan yang tepat untuk anak. Orang tua perlu mengeksplorasi dan memanipulasi bahan juga bumbu makanan. Rotasi dilakukan setiap 4-7 hari.

Prinsipnya, makanan yang diberikan hari ini khusus hari itu saja, tidak diberikan pada hari lain, dan tidak lebih dari satu jenis per hari. Misalnya, Senin makan ikan mas, Selasa makan lele, Rabu makan mujair. Senin makan telur puyuh saja, Selasa telur bebek, dan Rabu telur ayam.

Jika ada jenis makanan yang bereaksi negatif terhadap anak, maka jenis tersebut selanjutnya dieliminasi atau dihilangkan dari daftar menu. Terapis sebelumnya akan mencari tahu dan mengidentifikasi penyebabnya, apakah dari bumbu atau bahan makanan.

Terapis kemudian melakukan pencatatan skoring pada pagi, siang, dan malam hari. Nilai yang diberikan pada skala 0-10 dalam artian 0 artinya terbaik dan 10 terburuk. Pencatatan yang dilakukan menggunakan Skoring BALSH, yaitu dengan merekam Behavior (perilaku), Attention (perhatian), Language (bahasa), Stimming (stimulasi), dan Hiperactivity (hiperaktif).

(baca: Anak Autisme tak Boleh Susu Sapi, Mitoskah?)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement