REPUBLIKA.CO.ID, Bagi bangsa Indonesia, ikan kering atau biasa juga disebut ikan asin menjadi salah satu andalan sajian ikan yang hampir ada di setiap daerah. Nah, ternyata, masyarakat Jepang juga mengenal ikan kering. Walau pun bangsa Jepang terkenal suka mengonsusi makanan laut yang masih mentah, namun, sebelum hal itu membudaya, sebenarnya mereka juga gemar pada ikan kering yang sejarahnya lebih tua.
Selama Periode Nara (710-794), ada catatan pengiriman salmon, trout, dan ikan bass yang dikeringkan ke istana. Tak heran, sebab sebelum adanya proses pendinginan dan pengalengan, tentu saja pengasinan dan pengeringan ikan adalah metode yang diandalkan nelayan pantai.
Ikan kering yang telah dikonsumsi masyarakat Jepang selama ratusan tahun terdiri dari dua jenis. Pertama, yang dikeringkan dalam waktu lama hingga mengeras (biasanya didahului proses fermentasi) seperti katsuobushi.
Satu jenis yang lain disebut himono, dimana ikan biasanya dipanggang dan segera dimakan. Himono menjadi menu utama di Pengadilan Imperial di Kyoto selama Periode Heian (794-1185) dan dianggap sebagai makanan mewah di kawasan nonpesisir hingga periode Edo (1603-1868).
Ikan kering himono membanjiri Edo (sebutan untuk Tokyo pada masa itu) dari daerah seluruh negeri. Produknya yang bernama mezashi (tusukan sarden kering), selanjutnya diproduksi secara lokal dari hasil tangkapan ikan di pelabuhan Edo.
Masyarakat Jepang sangat menggandrungi penganan yang murah dan lezat itu. Hingga kini, mezashi masih dimakan sebagai bagian dari sarapan tradisional Jepang.
Pada Kuil Agung Ise Jingu di Prefektur Mie, himono digunakan sebagai persembahan untuk Amaterasu Omikami. Amaterasu adalah Dewi Matahari yang merupakan dewa utama Shinto.
Pentingnya menjaga kualitas untuk persembahan itu membuat industri himono bermunculan dan berkembang di daerah. Banyak pengunjung kuil menganggap himono sebagai oleh-oleh yang harus dibeli.