REPUBLIKA.CO.ID, Data Unicef menunjukkan lebih dari 700 juta perempuan di dunia menikah sebelum berusia 18 tahun. Sebanyak 280 juta anak perempuan saat ini bahkan menjadi 'pengantin anak.' Dalam International Conference on Family Planning (ICFP) 2016 di Nusa Dua, organisasi global, Girls Not Bride mencoba memaparkan lima alasan mengapa menikah dini atau menikah di usia terlalu muda mengancam keseatan ibu dan anak.
Risiko hamil di usia remaja
'Pengantin anak' akan menjadi ibu diusia dini. Ini karena setelah menikah maka tahapan selanjutnya yang akan dijalani perempuan adalah hamil dan melahirkan anak.
Melahirkan di usia dini berisiko kematian
Ketika perempuan melahirkan pada usia yang belum matang, nyawa mereka berisiko tinggi. Terjadinya komplikasi saat persalinan salah satunya mendorong kematian pada anak-anak perempuan berusia 15-19 tahun di negara-negara terbelakang. Anak perempuan yang melahirkan pada rentang usia tersebut banyak yang meninggal.
Daya tahan tubuh anak lemah
Bayi-bayi yang lahir dari tubuh ibu yang masih belia biasanya memiliki daya tahan tubuh lemah, terutama sepekan pertama setelah lahir. Kematian bayi yang dilahirkan dari ibu berusia di bawah 20 tahun lebih tinggi dibandingkan di atas 20 tahun. 'Pengantin anak' juga cenderung memiliki bayi dengan berat badan rendah saat lahir. Efek bagi kesehatan biasanya berlangsung jangka panjang.
Pengetahuan kesehatan, khususnya tentang KB minim
'Pengantin anak,' khususnya perempuan kurang berpengetahuan luas mengenai Keluarga Berencana (KB), kesehatan seksual, reproduksi, dan alat kontrasepsi. Mereka membutuhkan akses pengetahuan lebih terkait hal ini.
Tidak menikah di usia dini mengurangi angka kematian ibu
Negara dengan banyak penduduk yang menjalani pernikahan dini biasanya memiliki tingkat kematian ibu tinggi. Ketika anak perempuan memiliki akses ke berbagai layanan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk pendidikan seksual dan KB, mereka bisa memutuskan kapan dan berapa jumlah anak yang dilahirkan.