Oleh Wartawan Republika, Achmad Syalaby Ichsan
Budaya dan kuliner Pulau Tidung potensial untuk dijadikan ikon wisata
REPUBLIKA.CO.ID, Malam bertabur bintang diselingi kilat cahaya petasan. Bunyi letusan mercon ditabrak tepak suara ketimpring. Shalawat nabi pun dilantunkan demi mengiringi rombongan. Syafriansyah, si pengantin hendak diantar ke kediaman mempelai perempuan. Seratusan lelaki menyertai pemuda yang akan menjadi raja semalam.
Sesampainya rombongan di mihrab pengantin, Yalil kemudian dibacakan. Di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu Selatan, Yalil merupakan salam dan pujian diselingi shalawat nabi. Yalil disenandungkan dari pihak lelaki untuk memanggil tuan rumah. Perwakilan pengantin perempuan kemudian membacakan Yalil jawaban untuk menyambut salam mempelai lelaki. Saat pujian itu dibacakan, rombongan lelaki yang diisi teman sebaya pengantin menyoraki Syafriansyah.
Salah satu penyorak adalah Andi Hakim. Andi jauh-jauh datang dari Warung Buncit, Jakarta Selatan untuk merayakan pesta pernikahan adik angkatannya yang menikah dengan dara bernama Bariatunnisa. Meski asli dari Pulau Tidung, Andi sudah lebih banyak menghabiskan waktunya di ibu kota. Mahasiswa program pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) itu sedang menyelesaikan tesisnya di salah satu institusi pemerintah di Jakarta.
Mihrab pun terbuka. Tanda Yalil pengantin lelaki diterima. Rombongan Syafriansyah, termasuk Andi, dipersilakan menikmati hidangan. Meja panjang disediakan. Terpisah antara kudapan dan makan malam. Saat tamu menikmati hidangan, alunan gambang kromong yang disajikan langsung dari panggung menambah semarak suasana.
Diantara jajaran kudapan, tampak kue sengkulun dan kue tangkir. Kue sengkulun berasal dari betawi. Meski demikian, kue berbahan dasar tepung ketan dan kelapa parut itu sudah dinikmati leluhur orang Pulo (sebutan warga Pulau Tidung) sejak dulu. Lain lagi dengan kue tangkir. Kue berbentuk perahu ini berbahan tepung beras dan gula merah. Berselimut daun pisang, tangkir sungguh menggoda untuk dimakan.
Abang-None Kepulauan Seribu 2013 itu berkisah sulitnya menikmati kue khas Tidung belakangan ini. Masyarakat lebih suka membuat kue-kue modern seperti donat dan bolu. Kue khas pulau sudah mulai ditinggalkan. Segelintir kue tradisional baru tampak hanya pada acara tertentu. Contohnya lebaran dan pesta pernikahan.
Padahal, lanjut Andi, banyak kuliner khas Pulau Tidung yang tak kalah lezat ketimbang kue-kue kota. "Bukan cuma rasanya, tapi ada kisahnya,"kata dia saat berbincang dengan Republika.co.id di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu Selatan, Jakarta, Ahad (17/1) lalu. Sebagai anak nelayan, Andi mengaku kerap ditinggal bapaknya ke laut. Kalau sudah pergi, ayah Andi baru pulang tiga bulan kemudian.
Dia mencari ikan hingga ke Karimun Jawa bahkan Bali. Andi berkisah, selama bapaknya pergi, ibunya merasa kesepian. Begitu juga kebanyakan istri-istri nelayan. Lantas mereka membuat kue Janda Mengandang. "Ibu-ibu itu merasa menjadi janda saat suaminya pergi,"kata Andi.
Lain lagi dengan kue Bujang Gemuk. Kue berbahan dasar pisang ini memperlihatkan perhatian para istri kepada para nelayan saat sedang melaut. Nelayan yang menjadi bujang selama di kapal itu dibekali panganan dari rumah. "Tujuannya meski bujang, badannya tetap gemuk,"tambahnya.
Kue-kue itu sudah terancam punah. Andi bahkan bercerita ada salah satu makanan yang masih bisa dinikmati pada 90-an tetapi kini sudah hilang. Contohnya Kue Putu Gunung. Kue itu tak bisa lagi ditemukan di pulau karena sudah tak ada lagi yang bisa membuatnya.
Untuk membangkitkan kembali kuliner khas pulau, festival jajanan tradisional pun digagas. Festival itu pertama kali dihelat pada 2012 lalu. Ketika itu, acara tersebut dinamakan Festival Jajanan Kue (FJK) Pulau Tidung. "Yang pertama gagas itu abang saya, Bang Ghozali,"kata Andi.
Tidak ramping seperti adiknya, Ghozali berbadan gempal. Kesukaannya terhadap makanan tradisional membuatnya memutar akal supaya makanan-makanan di Tidung tetap lestari. Lewat grup di blackberry berisi para mahasiswa, karyawan hingga pengusaha dari Tidung, sarjana lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta itu melemparkan wacana untuk membuat festival kuliner. Tujuannya, Warga Pulau Tidung bisa kembali bersemangat untuk memproduksi kue-kue khas pulau. Harkat kuliner khas pulau pun bisa terangkat.
Rencana kilat itu pun bersambut. Kolega Ghozali menyumbang untuk ongkos produksi pembuatan kue dan penyelenggaraan festival. Para donatur bisa memilih kue yang hendak mereka sumbang. Jumlah sumbangan beragam. Dari Rp 300 ribu hingga Rp 1 juta. Tak hanya memberi dana, anggota grup ikut menyumbang apa saja nama kue tradisional yang sudah hampir punah. Termasuk kue janda mengandang, bujang gemuk, sengkulun, Puk Cue, dan tangkir. "Sampai ada 40 jenis kue yang kita data,"kata Ghozali.
Festival yang digelar pada Agustus 2012 ini terbilang sukses. Dengan promosi lewat media sosial dan internet, festival ini bisa mengundang wisatawan dari ibu kota untuk ramai-ramai datang dan mencicipi jajanan khas pulau. Keuntungan festival kemudian disumbangkan untuk renovasi mushola dan masjid di Tidung.
Sejak itu, festival tersebut diadakan tahunan. Ghozali dan Andi kemudian menggandeng beberapa komunitas di sekitar pulau untuk menjadi panitia. Contoh saja Taman Baca Nyiur, Sanggar Seribu Ceria hingga Forum Mahasiswa Kepulauan Seribu. Tak hanya itu, pelajar pun dilibatkan agar regenerasi bisa terjaga. "Cuma pada 2014 FJK absen diganti dengan festival sepeda,"kata Andi.
Tahun lalu, gebyar festival lebih menggema. Panitia mengambil tema lebih luas yakni Festival Tidung. Acara yang digelar pada 7 Maret 2015 ini tergolong besar. Adanya 20 mahasiswa asal Kanada di Tidung yang sedang mengikuti program Pertukaran Pelajar Indonesia-Kanada semakin meramaikan festival. Terlebih, Andi yang kala itu menjadi panitia mengungkapkan, mahasiswa-mahasiswa Indonesia dari jawa ikut menjadi peserta. Adanya mereka membuat kuliner Tidung bisa sampai ke lidah warga di lain pulau, bahkan benua.
Pada Festival Tidung 2015, panitia menambahkan pertunjukan seni dan budaya pulau untuk ditampilkan. Pencak silat, tari-tarian hingga permainan tradisional meramaikan festival ini. Untuk permainan tradisional, beberapa permainan anak yang hampir punah seperti inggo rombongan, ingke-ingke hingga kadal kembali dimainkan. Sedangkan pencak silat, Pencak Mandar yang berasal dari Sulawesi ditampilkan.
Magnet festival pun sampai ke telinga awak media. Puluhan wartawan media online, cetak dan elektronik datang untuk meliput. "Yang senang itu kue kita dijadikan salah satu ikon kuliner di program tv swasta,"kata Andi.
Andi yang usianya baru beranjak 25 tahun ini mengaku sedang mencari konsep festival Tidung 2016. Rencananya, festival akan diselenggarakan berkisar di Hari Ulang Tahun (HUT) DKI Jakarta Juni mendatang. Sesuai arahan Pemerintah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Andi menjelaskan, festival 2016 akan diperluas. Pulau-pulau selain Pulau Tidung akan turut menjadi peserta.
Beragam acara sedang disiapkan seperti lomba memasak kue tradisional, pertunjukan tarian hingga lomba lompat dari Jembatan Cinta. "Kalau untuk stan kue, saya inginnya ada booth gitu,"ujarnya. Andi mengungkapkan, masih banyak budaya asli pulau yang bisa digarap. Banyaknya suku pesisir yang tinggal di Tidung, kata Andi, membuat wisatawan bisa melihat miniatur Indonesia.
******
Dilihat dari pakaian, pria paruh baya itu lebih mirip orang Betawi. Baju dan celananya yang hitam tampak dikalahkan warna hijau gesper kopel di pinggangnya. Tak ketinggalan sebuah peci hinggap di kepala. Dengan setelan itu, dia berjalan santai ke rumahnya.
Dari silsilah keluarga, Syam'un Sidiq merupakan generasi ke-empat yang hidup di Pulau Tidung. Kakek berusia 63 tahun ini memiliki darah Sumbawa dari pihak ayah dan Banten dari ibu. "Jadi saya bukan orang betawi,"kata tokoh masyarakat yang akrab disapa Wak Ale ini kepada Republika.co.id.
Dia berkisah ada tujuh suku yang sejak awal mendiami Pulau Tidung. Mereka berasal dari Bugis, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sumatra Selatan, Sumbawa, Banten dan Betawi. Tidak diketahui suku mana yang pertama kali mendiami Tidung. Cerita mengenai nenek moyang Orang Pulo hanya dikembangkan dari warisan kisah dari mulut ke mulut.
"Awalnya itu Nek Turuk yang tinggal disini,"kata tokoh yang akrab disapa Wa Ale ini. Menurut dia, Nek Turuk - menurut tokoh lain di Tidung bernama Panglima Hitam - berjasa bagi masyarakat pulau ketika itu. Dia bisa mengecoh bajak laut yang hendak merampok warga pulau.
Syahdan, kisah Wak Ale, kebanyakan warga tinggal di Tidung Kecil. Mereka pun bersembunyi saat datang bajak laut. Kata Wak Ale, Nek Turuk membuat asap di sekeliling pulau. Dia pun kerap mondar mandir berkeliling pulau dengan mengenakan baju yang berganti-ganti. "Bajak laut pun mengira banyak orang di pulau. Mereka kemudian pergi sebelum merampok,"kata Wak Ale.
Dia mengungkapkan, kisah tersebut bisa jadi merupakan asal mula kata Tidung yang diambil dari bahasa berlindung. Wak Ale pun beralasan, banyaknya pelarian saat masa penjajahan Belanda dan Jepang untuk berlindung ke Pulau Tidung menjadi penguat nama itu.
Meski begitu, Wak Ale tak bisa memastikan validitas kisah tersebut. Apalagi, adanya penelitian yang mengungkap makam Raja Panditha di pulau itu. Menurutnya, banyak warga pulau, khususnya yang masih memiliki garis darah dengan sang raja beranggapan bahwa nama Tidung berasal dari Suku Tidung di Kalimantan.
Wak Ale hanya bisa memastikan jika nama Tidung baru ada setelah abad ke-16. Peta buatan tahun 1.600 yang digunakan Wak Ale saat dia masih menjadi nelayan membuktikan hal tersebut. Di peta itu, Tidung masih disebut sebagai Pulau Air Besar.
Wak Ale menjelaskan, banyaknya suku yang bermukim di pulau seluas lebih dari seratus hektare itu tak membuat adanya konflik diantara warga. Budaya yang berbeda justru membuat mereka hidup harmonis. Apalagi mereka kini tercatat sebagai warga ibu kota. Budaya betawi pun kerap dijadikan identitas untuk warga pulau. "Tapi bukan berarti kita meninggalkan budaya asal,"katanya.
Masthuroh merupakan penghuni pulau berlain suku dengan Wak Ale. Hanya, orang tua itu punya kisah menarik tentang nenek moyangnya. Masthuroh menunjuk makam megah yang terletak hampir dua ratus meter dari kediamannya. Makam itu tampak berbeda dari tempat pemakaman umum (TPU) di sebelahnya.
Dinisannya tertulis resume singkat sejarah Raja Panditha. Dilahirkan pada 20 Juli 1817 di Malinau, Kalimantan Timur (sekarang Kalimantan Utara). Wafat di Pulau Tidung 1989. Di nisan itu tertulis pula Raja Panditha berkuasa sebagai Raja Tidung XIII pada 1853-1892 di Malinau. Kekuasaannya kemudian berakhir seiring dengan masa pengasingannya ke Batavia (Jakarta).
Sang raja memiliki nama asli Muhammad Sapu. Nama kecilnya adalah Kaca. Nama ini menjadi salah satu petunjuk dari Kerajaan Tidung yang sedang mencari jasad raja mereka. "Nama itu cocok dengan buyut saya yang namanya juga Kaca,"kata Masthuroh yang mengaku sebagai keturunan ke-empat Raja Panditha.
Masthuroh bercerita, pada 2009 lalu, datang seorang peneliti asal Jepang ke Pulau Tidung. Peneliti ini hendak mencari tahu mengapa pulau tersebut disebut sebagai Pulau Tidung. Sang peneliti ingin mencocokkan apakah nama Tidung ini benar-benar cocok dengan sosok raja yang hilang dari Suku Tidung di Malinau, Kalimantan. "Dulu dia bicara sama kakak saya. Almarhum Haji Ja'far Arsyad,"katanya kepada Republika.co.id.
Fasih berbicara Jepang, Ja'far menceritakan bahwa mereka masih memiliki darah Kalimantan. Haji Hamidhun, sang ayah, memiliki kakek yang merantau dari Borneo. Hanya, kakek itu berasal dari Banjar. Bukan dari Malinau. Saat ditanya siapa nama kakek buyutnya, Ja'far menyebut nama Kaca. Ternyata, nama itu juga digunakan sebagai nama kecil raja yang hilang.
Setelah itu, peneliti tersebut mulai intensif menyambangi Kepulauan Seribu. Berbagai macam bukti disuguhkan kepada keluarga Masthuroh bahwa Kaca adalah Raja Panditha. Dari tahun hidup yang sama hingga foto sang raja yang pernah dibawa seorang tentara di Jepara.
Keluarga besar Masthuroh akhirnya mengakui jika Kaca merupakan Raja Panditha. Hanya, mereka menolak jika makam leluhurnya dipindahkan ke Malinau seperti permintaan masyarakat Suku Tidung di Kalimantan. "Nanti bagaimana kalau mau ziarah,"katanya.
Setelah berembuk, keluarga besar baik dari Malinau maupun Pulau Tidung sepakat untuk memindahkan makam sang raja ke makam yang lebih layak. Prosesi adat pun dilakukan. Tetarian dan senjata tradisional Tidung ditampilkan. Tiga bupati mengiringi upacara pemindahan makam itu hingga akhirnya menjadi seperti sekarang.
Kata Masthuroh, Raja Panditha merupakan pelarian Belanda. Sikap tegas sang raja untuk menolak mengakui Belanda sebagai pemerintah yang sah di bumi Malinau membuatnya harus terusir. Dia sempat diasingkan ke Banjar kemudian dipindahkan ke Jepara. Setelah itu, Raja Panditha dikirim ke Batavia. "Dari Batavia itu mungkin dia lari ke sini,"katanya.
Sebagai pelarian, sang raja benar-benar menutup jati dirinya saat tinggal di pulau. Dia mengaku berasal dari Banjar, bukan Malinau. Raja juga menggunakan nama kecilnya, Kaca, yang tak pernah diketahui Belanda. Sampai kepada keluarganya, raja tidak pernah mengisahkan darimana sebenarnya dia berasal.
Karena itu, Masthuroh mengungkapkan, sulit untuk mencari bekas-bekas budaya Tidung di pulau itu. Untuk makanan pun, Kaca tidak mewariskan resep spesial. Masthuroh hanya mengingat pindang ikan asam garam sebagai makanan warisan keluarga. Boleh jadi resep itu menjadi satu warisan suku Tidung yang dibawa Kaca. Karena saat diundang ke Malinau, Masthuroh mengaku melihat resep yang mirip dengan pindang di Pulau Tidung.
Masthuroh dan Wak Ale mengapresiasi gerakan anak muda Pulau Tidung yang menggelar festival berisi seni dan budaya juga kuliner tradisional. Buat mereka, apa yang dilakukan Ghozali, Andi Hakim dan kawan-kawannya dapat menjadi pemantik pencarian akar budaya nenek moyang. Meski jejak warisan itu pun sulit ditemukan, mereka berharap festival itu menjadi awal hidupnya obor budaya untuk suku-suku di Tidung.
Adat yang saat ini masih dijalankan pun diminta untuk dipertahankan dan dilestarikan. Wak Ale mencontohkan betapa sulitnya mencari pembaca Yalil untuk pengantin saat ini. Demikian pula susahnya menemukan jurus-jurus pencak silat khas pulau yang dulu kerap dimainkan pada pernikahan. "Semoga bisa jadi gantikan kami para orang tua,"kata Wak Ale.
****
Bupati Kepulauan Seribu Budi Utomo punya target empat juta wisatawan berkunjung ke Kepulauan Seribu pada tahun ini. Festival-festival bahari pun akan digarap untuk memenuhi target tersebut. Salah satunya Festival Tidung 2016. Bekas Wakil Bupati Kepulauan Seribu ini menjelaskan, Tidung berpotensi untuk menjadi destinasi wisata warga ibu kota.
"Harus diperkenalkan kearifan lokal khas warga Tidung,"kata Budi Utomo saat berbincang dengan Republika.co.id, Selasa (19/1). Meski Tidung dan Kepulauan Seribu merupakan bagian dari ibu kota yang notabene mengusung betawi sebagai ikon budaya, Budi menjelaskan, pemerintah memberi ruang kepada warga untuk mempertahankan dan melestarikan budaya nenek moyang. Adanya kebudayaan lokal, katanya, memperkaya Kepulauan Seribu dan Jakarta pada umumnya.
Buat dia, kata Seribu yang dilekatkan pada Kepulauan Seribu punya akronim sendiri. 'Seluruh Rakyat Indonesia Bersatu'. Banyaknya budaya pesisir yang ada di pulau menjadi pembenar sang bupati. Karena itu, menurut dia, pemerintah sedang mengkaji budaya-budaya asli Kepulauan Seribu untuk dijadikan ikon budaya. Dengan demikian, setiap pulau bisa menampilkan kesenian masing-masing untuk ditampilkan kepada wisatawan. "Nanti bisa dibuat tari selamat datangnya bagaimana atau ada pantunnya,"tambah Budi.
Meski demikian, Budi menjelaskan, butuh sentuhan kreatif untuk membuat budaya itu bisa ditampilkan dengan menarik. Dia menjelaskan, adanya Andi Hakim, Ghozali dan para pemuda Tidung lainnya memiliki kemampuan itu.
Andi menimpali bahwa panitia festival mengharapkan agar warga keturunan Raja Panditha yang ada di Tidung dapat menampilkan budayanya sendiri. Dia mengusulkan para pewaris kerajaan Tidung di Malinau, Kalimantan Utara diundang untuk menularkan budaya Suku Tidung kepada para cicit sang raja.
Festival bertema bahari bersinergi dengan program pemerintah pusat. Kementerian Pariwisata (Kemenpar) sedang giat-giatnya untuk menggarap wisata bahari. Tidak tanggung-tanggung, Kemenpar memberi porsi 35 persen untuk wisata bidang kelautan itu pada 2015 hingga 2019. Wisata bahari pun telah ditetapkan sebagai salah satu program unggulan dalam pembangunan kepariwisataan nasional.
Wisata bahari difokuskan pada pantai, selam dan selancar, hingga yacht. Tak ketinggalan, budaya masyarakat pesisir pun turut dijadikan objek wisata. Pemerintah juga memproyeksikan bahwa wisata bahari akan memberi kontribusi terhadap kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) hingga di atas satu juta orang pada 2016. Jumlah ini pun diproyeksikan meningkat menjadi 4 juta pada akhir 2019.
Kepala Biro Hukum dan Komunikasi Publik Kemenpar Iqbal Alamsyah menjelaskan, pihaknya mendorong agar setiap daerah menggali budaya lokal untuk ditampilkan dalam perhelatan festival. Menurutnya, Kemenpar akan mempromosikan festival-festival yang memiliki news value sehingga menarik minat wisatawan.
"Nanti akan dibantu promosi pre event, on event dan post event,"katanya kepada Republika.co.id, Rabu (20/1). Dia pun mengungkapkan, wisata bahari di Kepulauan Seribu masih potensial untuk dikembangkan. Meski demikian, kata Iqbal, daerah terkait harus menggali keunikan budaya dari kabupaten administrasi di Jakarta itu. "Ada nilai lebih sehingga ada rasa eager wisatawan kepengen tahu,"katanya.