REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Sebuah riset di Amerika Serikat baru-baru ini menunjukkan, adanya korelasi antara jumlah anak dalam sebuah keluarga dengan kemampuan kognitif atau masalah perilaku.
Setiap ada saudara mereka lahir, saudara yang lebih tua memiliki kemungkinan mengalami penurunan kemampuan kognitif atau masalah perilaku.
Dilansir dari The Independent, Senin (4/1), penelitian itu didasarkan pada temuan lebih tua yang mengklaim adanya keterkaitan antara kuantitas dengan kualitas setiap anak dalam sebuah keluarga.
Ketiga peneliti Chinhui Juhn, Yona Rubinstein, dan C. Andrew Zuppann itu menggunakan data dari National Longitudinal Survey of Youth 1979. Data itu meminta para orang tua menjawab segudang pertanyaan tentang kemampuan matematika, kemampuan membaca, dan masalah perilaku anak mereka. Mereka juga menanyakan faktor lingkungan, seperti seberapa sering orang tua membaca untuk anak-anak atau membantu mereka menyelesaikan pekerjaan rumah.
Hasilnya, peneliti menemukan investasi orang tua pada anak yang lebih tua turun tiga persen setelah adiknya lahir. Skor kognitif turun 2,8 persen, sedangkan masalah perilaku meningkat. Investasi orang tua yang dimaksud dalam penelitian ini diwakili oleh hal-hal seperti seberapa sering keluarga makan bersama, menunjukkan kasih, atau membaca buku bersama.
Efek yang dialami berbeda tergantung jenis kelamin anak yang lebih tua. Gadis yang memiliki adik cenderung mengalami penurunan dalam kemampuan kognitif, sedangkan bagi anak laki-laki cenderung berdampak pada masalah perilaku.
Untuk mengetahui secara persis mengapa tren tersebut terjadi, para peneliti membagi penyebabnya dalam empat faktor berbeda. Yaitu, waktu yang dihabiskan dengan anak, sumber daya yang dikhususkan untuk masing-masing anak, kasih sayang orang tua, dan seberapa aman lingkungan rumah. Intensitas waktu yang dihabiskan orang tua dengan setiap anak adalah faktor yang paling berubah setelah kelahiran anak lain.
Juhn dan kawan-kawan juga menemukan, salah satu faktor eksternal yang berpengaruh besar pada hasil ini adalah kemampuan kognitif ibu. Semakin tinggi kemampuan kognitif, semakin mungkin dampak negatif itu dapat dikurangi. Sayangnya, banyak ibu dengan angka kognitif rendah berada dalam kondisi kurang mampu. Mereka harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehingga tidak ada pilihan untuk memberi waktu lebih bagi anak-anak.
Para peneliti menambahkan, temuan ini juga dipengaruhi kurangnya kebijakan pemerintah yang mendukung ibu dan keluarga. Misalnya, cuti orang tua dan dukungan perawatan anak. Karena itu, hasilnya berbeda dari negara ke negara.
Penelitian di Norwegia tahun 2005 mengungkapkan, dampak yang dialami anak atas kelahiran saudara mereka tidak seburuk itu.
Tapi di Cina, efek yang dialami oleh sebagian anak bahkan lebih besar. Pasalnya, Juhn menjelaskan, negara-negara seperti Norwegia memiliki program cuti orang tua, kebijakan pendukung untuk keluarga, dan pendidikan publik yang kuat.