REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Erupsi Gunung Bromo yang siklusnya berlangsung selama lima tahun sekali tidak berbahaya. Bahkan, saat erupsi, pemandangan Bromo paling indah dinikmati. Berbagai siluet bentuk yang muncul dari kepulan asap.
"Saat erupsi inilah yang paling indah dan hanya bisa dinikmati saat jam-jam tertentu. Contohnya, pada pagi hari lalu menggambarkan tokoh perwayangan dan bunga api," kata sesepuh masyarakat Tengger, Digdayo Djamaluddin P di Desa Ngadisari, Probolinggo, Jumat (25/12).
Menurut Digdoyo, erupsi yang tidak berbahaya itu digambarkan cukup berbahaya oleh beberapa media. Akibatnya, terjadi penurunan wisata mencapai 80 persen dari jumlah yang sebelumnya. "Harusnya musibah erupsi itu jadi berkah bagi masyarakat Bromo yang lebih banyak menggantungkan hidup dari pariwisata," katanya.
"Jujur saja, seharusnya kami mendapatkan banyak pemasukan di Natal dan Tahun Baru. Namun, pendapatan kami sangat melorot karena banyak tamu membatalkan kunjungannya. Bahkan, ada beberapa hotel yang terpaksa memutuskan hubungan kerja dengan karyawan kontraknya," ujarnya.
Untuk itu, Digdoyo minta semua pihak untuk sama-sama mendukung dan memastikan bahwa mengunjungi Bromo adalah aman. "Harus disosialisasikan bahwa erupsi Gunung Bromo tidak berbahaya. Memang dampak erupsi itu banyak menjadikan hujan pasir vulkanik, tapi itu bisa diantisipasi dengan masker atau membawa payung," katanya.
Digdoyo berharap dengan adanya sosialisasi bahwa erupsi gunung Bromo tidak berbahaya dan adanya lokasi yang aman dengan radius 2,5 kilometerm yang bisa dijadikan tempat menikmati akan mengembalikan kepercayaan wisatawan untuk datang. "Kami berharap dengan adanya sosialisasi ini kunjungan wisatawan lokal dan manca negara bisa kembali pada saat menyambut Tahun Baru," katanya.