Oleh: Angga Indrawan
Wartawan Republika Online
Gumara (48 tahun), keluar dari gudang tua yang dipakainya menginap semalam. Ia keluar setelah menyeruput kopi pagi dan sebatang rokok dari warung tak jauh dari gudangnya beristirahat. Kaos oblong berwarna putih kecoklatan dikenakanannya. Kain sarung tanpa motif, terlipat sederhana di bagian perut menutup lutut. Satu pagi di Pelabuhan Panarukan, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, Gumara siap bergelut dengan aktivitas rutinnya.
Gumara baru datang semalam setelah kapal kecilnya bersandar usai membawa beberapa karung garam dari tanah kelahirannya, Madura. Pagi itu, tugasnya hampir selesai setelah dua hari semalam perjalanan menuju Pelabuhan Panarukan. Sekarang tinggal tugas terakhirnya, memandu kuli angkut untuk menumpuk puluhan ton garam-garam itu di penampungan sementara. Meski hanya sebuah kapal kecil, tak disangka saat Gumara menyebut kapal kayunya itu mampu menahan muatan garam mencapai 30 ton.
"Sementara kusimpan di gedung-gedung tua itu, baru diberangkatkan ke Banyuwangi," kata Gumara sang mandor kuli angkut itu. Banyuwangi merupakan pelabuhan lain tak jauh dari Panarukan. Di sana, garam yang diangkut itu akan kembali masuk ke Pelabuhan Ketapang untuk diteruskan ke daerah lainnya di luar pulau Jawa.
Gedung tua yang dimaksud Gumara adalah bangunan-bangunan lama yang beruntung masih berdiri di pelabuhan kuno Panarukan. Gudang-gudang itu sudah rusak, kondisinya sudah hampir menunggu takdir roboh menjemputnya. Atapnya sebagian menganga, kulit dindingnya terlihat begitu kusam. Namun, bangunan itu rupanya masih mujur jika dibandingkan beberapa bangunan lainnya. Gudang-gudang lain yang pernah ada pada zamannya, kini sudah tak lagi berbekas. Semuanya dirobohkan dan berubah satu persatu menjadi rumah pemukiman nelayan di sana.
Kejayaan yang sirna
Panarukan, termasuk pelabuhan ini, sempat menjadi satu wilayah mahsyur dalam sejarah Hindia Belanda di pulau Jawa. Pelabuhan Kilensari, Panarukan, menjadi tempat tonggak ekonomi Hindia Belanda yang membuat daerah ini terkenal di jalur bisnis Asia dan Eropa hingga abad ke-20.
Panarukan juga tercatat menjadi satu Kabupaten di ujung timur pulau Jawa hingga penghujung abad ke-20. Dulu namanya Kabupaten Panarukan yang memiliki lokasi ibukota di Situbondo, delapan kilometer ke arah Timur. 200 tahun kini semua berubah. Setelah status itu sempat tersemat, Panarukan turun kasta. Kini ia hanya menjadi sebuah kecamatan yang cuma terdiri dari delapan desa: Kilensari, Wringin Anom, Paowan, Sumber Kolak, Peleyan, Duwet, Alas Malang, dan Gelung.
Pamor Panarukan juga tidak terlepas dari proyek Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels pada pertengahan 1809. Di kecamatan yang terletak 200 kilometer dari Surabaya ini, Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36, mengakhiri proyek terbesarnya pada zaman itu, de Groote Postweg atau yang saat ini dikenal dengan Jalan Raya Pos yang membentang 1.000 kilometer dari Anyer-Panarukan. Banyak dugaan yang muncul dari sejumlah sejarawan, mengapa Daendels meletakkan proyek akhirnya di daerah ini.
"Infrastruktur untuk ke ujung Jawa Timur (Banyuwangi,red) juga belum sebagus sekarang," kata sejarawan asal Jawa Timur, Dukut Imam Widodo.
Tak hanya persoalan infrastrukur yang membuat Panarukan begitu mahsyur. Ekonomi Panarukan kemudian pesat kemajuannya pada akhir abad ke-19. Pada 1886, di kecamatan bekas Kabupaten ini, Panarukan disulap sebagai 'gudang emas' yang mengirim banyak upeti untuk kerajaan Hindia Belanda. Dalam sejarah yang tercatat di pelabuhan ini, Pelabuhan Panarukan merupakan buah prakarsa dari seorang pengusaha asal Belanda, George Bernie, pemilik NV LMOD (Landbouw Matscapay Out Djember). Bernie merupakan penguasa perkebunan terbesar di daerah Jember.
"PT Djakarta Lloyd, dulu orang-orang menyebutnya Panarukan Mas Apik (Maatscappij,red)," kata Soleh (70 tahun), salah satu pemukim yang cukup banyak bercerita tentang desa tempat tinggalnya ini. Berkat keberadaan pelabuhan itu pula, Panarukan makin berhias dengan didirikannya sebuah stasiun kereta, Stasiun Panarukan pada penghujung 1897. Stasiun Panarukan membuka rute Jember-Bondowoso-Panarukan. Bangunan stasiun itu masih ada. kondisinya serupa dengan pelabuhan ini, tak teperhatikan usai ditutup pada penghujung 2004.