Jumat 31 Jul 2015 08:53 WIB

Ekowisata Indonesia Butuh Insentif dan Disinsentif

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Winda Destiana Putri
Ekowisata (Ilustrasi)
Foto: Google
Ekowisata (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), EKS Harini Muntasib menilai pengelolaan ekowisata di Indonesia membutuhkan sistem insentif dan disinsentif dalam pengembangannya ke depan.

Gerak cepat pemerintah diperlukan mengingat Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara lain di dunia dalam pengembangan ekowisata, khususnya ekowisata satwa liar.

"Hal penting yang harus disepakati adalah penyediaan instrumen, insentif sistem, enabling condition, dukungan politik bagi pelaku ekowisata," kata Harini dalam konferensi pers di Kampus IPB Baranang Siang, Kamis (30/7).

Tata kelola ekowisata di Indonesia juga diperlukan mengingat para pengusaha dan pengelola ekowisata akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai tiga hal. Pertama, pengelolaan ekowisata di berbagai spesies satwa liar. Kedua, dinamika permintaan ekowisatawan. Ketiga, kebijakan dan regulasi yang berhubungan dengan ekowisata saat ini.

Menurut pakar ekowisata ini, Kementerian Pariwisata, Kementerian Lingkuhan Hidup dan Kehutanan, serta tingkat daerah dapat mengembangkan berbagai strategi insentif dan disinsentif bagi para pihak untuk mendapatkan manfaat yang lebih baik. Selain itu juga tidak kalah penting adalah meyakinkan para pihak di tingkat global dan nasional untuk mau mengadopsi pemahaman dari kebijakan pengelolaan pariwisata.

Tata Kelola ekowisata satwa liar bukan membangun suatu kelembagaan baru, namun lebih untuk menggerakkan mekanisme di antara para pihak dalam pengelolaan satwa liar di suatu kawasan. Untuk dapat melakukan kolaborasi, kerjasama, konsorsium, dan sebagainya dalam tata kelola ekowisata ini, maka prinsip yang dipegang oleh para pihak yang akan melakukan kolaborasi adalah prinsip kemanfaatan, keadilan, dan legalitas.

Komitmen para pihak dilandasi dengan penataan hak, pendampingan, benefit sharing, diikuti adanya kebijakan kabupaten, provinsi dan nasional untuk menyusun sistem insentif. Peran pemerintah sebagai fasilitator, konduktor, sekaligus pelaksana regulasi yang seimbang dalam memikirkan 'reward' dan 'punishment' diperlukan dalam sistem insentif dan disentif ini.

Harini mencontohkan di Alberta, Kanada, peran pemerintah dalam tata kelola untuk menuju pariwisata berkelanjutan dilakukan proaktif bersama para pelaku wisata. Hal ini ditunjukkan dengan memberikan dukungan berupa insentif bagi pengelola wisata berkelanjutan. Mereka dihubungkan dengan sumberdaya modal, yaitu bank. Insentifnya bisa berupa keringanan bunga hingga nol persen kepada pelaku bisnis wisata yang menerapkan prinsip berkelanjutan. Pemerintah juga menjadi fasilitator aktif sehingga tercipta harmonisasi bagi kepentingan masyarakat, ekonomi dan lingkungan.

Sejumlah peneliti akan membahas tata kelola satwa liar di Indonesia dalam sebuah orasi pada akhir pekan ini, yaitu Sabtu (1/8) di Auditorium Rektorat Andi Hakim Nasution, Kampus IPB Darmaga, pukul 08.00-12.00 WIB. Refleksi dari sebagian hasil penelitian mereka ini diharapkan bisa bermanfaat bagi pengembangan ekowisata di Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement