REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasarkan data dari Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI) dan Cancer Buster Community (CBC) yang telah diolah, penderita kanker anak mencapai 110 sampai 130 kasus per 1 juta anak tiap tahunnya.
Sementara International Agency of Research Center (IARC) mengungkapkan satu dari 600 anak di dunia, di bawah usia 16 tahun, menderita kanker. Mirisnya, 80 persen dari penderitanya hidup di negara berkembang. "Akses terhadap pelayanan kesehatannya belum maksimal," kata Ketua YOAI Rahmi Adi Putra Tahir.
Minimnya akses pelayanan, penyebaran informasi, serta edukasi mengenai penyakit kanker pada anak menyebabkan mitos. Salah persepsi dan deskripsi tersebut berkembang di masyarakat, termasuk Indonesia. Tak heran bila hingga saat ini masih saja ada diskriminasi bagi anak-anak penderita kanker. Terutama lingkungan yang mengabaikan hingga menjauhi dari pergaulan. Padahal, penderita kanker anak bukan parasit. Mereka bisa tetap hidup normal dan tak perlu ada pengasingan pergaulan.
Penyintas Kanker Anak Sulit Bersosialisasi?
Terkena penyakit ganas dan mematikan tidak menghambat seseorang untuk memiliki teman. Mungkin pada saat pengobatan, mulai dari kemoterapi hingga dirawat, anak penderita kanker akan terlepas dari teman sebayanya. Buah hati kehilangan masa bermainnya. Tetapi ketika berhasil melawan kanker, para penyintas ini justru cenderung dapat mengatasi kondisi diri sendiri dengan lebih baik. "Mental mereka justru lebih tangguh dari anak lainnya," jelas Mururul.
Banyak penyintas yang akhirnya membuat komunitas. Melalui wadah tersebut penyintas justru menjalin komunikasi dan berbagi informasi. Hal ini menunjukkan mereka jauh lebih bisa berkomunikasi, bahkan membentuk sebuah perkumpulan. Di beberapa negara bahkan banyak penyintas kanker anak memberikan dukungan psikologi bagi anak-anak penderita kanker.
Bebas Kanker, Tidak Perlu Perawatan Lanjutan?
Para survivor atau penyintas kanker anak memang berhasil menghantam penyakitnya. Meski dinyatakan bebas kanker bukan berarti tidak perlu berkunjung ke dokter. "Perawatan terus menerus penting bagi para penyintas kanker," kata Mururul. Para survivor perlu waspada dengan kanker sekunder. Perawatan lanjutan bisa menunjang deteksi dini dan pengobatan apabila ditemukan gangguan penurunan kesehatan. Memberikan informasi sesuai usia mereka dapat membantu memahami kondisinya.
Anak Penderita Kanker Tidak Punya Masa Depan?
Sebagian penyintas kanker anak justru kembali ke sekolah. Mereka melakukan aktivitas normal setelah menjalankan pengobatan. Bahkan banyak pula yang mampu menyelesaikan jenjang perkuliahan. Penderita kanker anak harus berjuang melawan kankernya. Ketika sudah mampu melewati fase tersebut, penyintas kanker dapat berintegrasi kembali dengan keluarga dan teman. Untuk mendapatkan kehidupan baru tentu perlu penyesuaian. Namun bukan berarti tak bisa meraih masa depan.
Penderita Kanker Anak Akan Membawa Stigma Kanker Sepanjang Hidup?
Mungkin hal itu ada benarnya tapi lebih ke arah positif. Survivor kanker anak di negara-negara maju disebut sebagai pahlawan dan terpandang. Para penyintas justru membuktikan secara nyata hidup mereka terus berlanjut tanpa perlu membawa aura negatif dari penyakit. Bahkan para penyintas ini menjadi duta terbaik untuk memberi harapan, motivasi, dan inspirasi bagi para penyintas lain serta yang masih menderita kanker. "Sosok penyintas justru dibutuhkan agar emosional dan mental penderita kanker bisa bangkit," jelas Mururul.