REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Warga Tionghoa merayakan Hari Raya Imlek (Tahun Baru Cina). Gong Xi Fa Cai, arti kata-kata ini kira-kira 'murah rezeki dan panjang umur.'
Imlek dihitung berdasarkan penanggalan jalannya rembulan (Iim Lek) dan bukan matahari. Perayaan ini amat dinanti warga Tionghoa yang pada masa Orde Baru dilarang merayakannya secara terbuka. Orang Cina bergembira bila saat Imlek diguyur hujan. Mereka menganggapnya sebagai 'hoki' berupa rezeki yang mengucur dari langit.
Tempo dulu, orang Tionghoa banyak mendatangi kuburan (sentiong) keluarganya untuk liamking (sembahyang) sebagai tanda bakti kepada leluhur. Setelah itu, memberi hormat kepada orang tua atau keluarga yang lebih tua. Sayangnya, kini banyak pemakaman Cina telah berubah fungsi menjadi pertokoan dan perumahan. Warga Tionghoa yang meninggal sebagian besar dikremasi.
Tiap Imlek sebelum masa Orde Baru, tanjidor, seni orkes tradisional yang mengadopsi budaya Eropa, biasa mengamen ke rumah-rumah orang Tionghoa. Yang didatangi pun menerimanya dengan terbuka dan memberikan uang saweran. Pada 1960-an, Wali Kota Sudiro (saat itu Jakarta dipimpin wali kota) melarang hal ini karena dianggap merendahkan martabat bangsa dengan meminta-meminta.
Di masa lalu, kemeriahan Imlek berlangsung lama. Perayaan ini baru ditutup pada hari ke-15 yang disebut “Capgomeh”. Pada malam bulan purnama ke-15 itu, para siauce (nona) berdandan seelok mungkin, sambil dengan berdebar menanti sang enghiong (pemuda) pujaannya untuk bertandang atau “wakuncar”.
Biasanya, dan merupakan keharusan pada zaman itu, para pemuda yang datang ke rumah pujaannya harus membawa ikan bandeng. Sebuah tempat di Jakarta, Bandengan, dulunya adalah tempat jual-beli ikan yang harganya relatif mahal ini.
Cialat atau celaka dua belas calon mantu yang tidak mampu membawa bandeng, apalagi tidak muncul, ke rumah calon mertua menjelang Capgomeh. Calon mantu yang demikian dianggap tidak punya rasa hormat dan tafran alias bokek tidak punya fulus.
Imlek di tempo dulu, selain ditutup Capgomeh, ada keramaian yang disebut cioko (rebutan bendera). Maksudnya, untuk 'menyembahyangi' orang yang tidak disembahyangi oleh keluarganya karena terlalu miskin. Masyarakat Cina memberikan sumbangan uang maupun barang serta makanan, dan juga candu. Kemudian, barang-barang ini ditempatkan dalam bakul-bakul, lalu ditancapi segi tiga aneka warna.
Barang-barang berikut boneka-boneka tepung berbentuk wayang Cina (tokoh Sin Tji Kui) dan lain-lain kemudian diperebutkan. (Tio Tek Hong, Riwayat Hidup Saya dari tahun 1882 hingga sekarang, 1969).
Klenteng merupakan tempat paling banyak didatangi masyarakat Cina di Hari Imlek. Sebelum 1960-an di kawasan Jakarta Kota saja tidak kurang terdapat 20 buah kelenteng.Yang paling ramai didatangi adalah Xuan Can Dong atau Wihara Dharma Bakti di Petak Sembilan.
Kelenteng yang dibangun tahun 1650 itu masih tampak kokoh hingga saat ini. Seorang pembantu Kapiten Cina Qua Xun Yuan mendirikan kelenteng untuk menghormati Guan Yin yang dikenal sebagai Dewi Belas Asih (Kwam Im).
Satu lagi, perayaan Imlek tidak dapat dipisahkan dari barongsai. Awalnya, barongsai bukan merupakan hiburan. Ia bagian dari acara ritual yang dimaksudkan untuk membersihkan roh jahat. Dalam legenda Cina, barongsai adalah binatang gaib yang muncul tiap 500 tahun sekali.
Pertunjukan barongsai dan liong samsi konon pertama kali digelar di Nusantara untuk menyambut kedatangan duta negeri Tiongkok bernama Sam Pok Kong. Dia juga dikenal sebagai panglima perang yang taat menjalankan syariat Islam. Meski seorang Muslim, dia juga mempelajari kepercayaan Buddha dan Tao.
Barongsai sendiri, menurut sinolog UI, Udin, muncul dalam dua rupa: dalam bentuk singa dan dalam bentuk naga. Barongsai dalam bentuk naga (liong samsi) muncul pada upacara penobatan kaisar. Naga sendiri merupakan binatang khayalan yang dimitoskan menjadi lambang kebesaran kaisar Tionghoa.