REPUBLIKA.CO.ID, Keguguran, merupakan pengalaman pahit yang dialami seorang perempuan. Berharap menimang bayi mungil setelah dinyatakan hamil, ternyata kandas di tengah jalan. Hal yang sama ternyata pernah dialami psikolog anak dan keluarga, Anna Surti Ariani.
Ibu dua anak ini pernah mengalami keguguran 26 Oktober 2011 silam. Pada saat itu ia tak menyangka kondisinya akan berat. Dalam curhatnya di akun Twitter pribadinya @AnnaSurtiNina, perempuan yang akrab disapa Nina menjelaskan emosi yang dialami ibu yang keguguran.
“Tak percaya, kaget, hancur, bersalah, marah, duka, sedih, semua bercampur, sehingga membingungkan,” ujarnya lewat akun Twitternya.
Nina mengatakan emosi tersebut mirip dengan emosi yang dialami ibu yang putra-putrinya meninggal, baik meninggal saat lahir maupun sudah besar. “Dengan demikian, tak perlu lagi ditanya, 'bagaimana perasaan Mama setelah keguguran?',” ujarnya. Sebab pertanyaan tersebut buat beberapa orang menyesakkan dada.
Menurutnya, ada beberapa kondisi psikologis yang dialami ibu yang keguguran. Yang paling sering adalah merasa tak berdaya, hampa, dan rasa kehilangan yang besar. Beberapa bahkan mengalami keluhan somatik, misalnya tetap mual atau tetap merasakan tendangan janin (padahal janin sudah tak ada di rahim).
“Mama keguguran juga sering alami ketidaknyamanan dengan tubuh, berkurang juga kepercayaan dirinya, kadang takut hamil lagi,” tambahnya.
Di sisi lain, lingkungan entah itu suami, orang tua, keluarga besar, teman dan lainnya, seringkali tak memahami kondisi-kondisi psikologis ibu yang keguguran. Akibatnya banyak yang mengalami depresi dan gangguan kecemasan. “Yang alami itu sekitar 15 persen mama keguguran, kata Blackmore (tahun 2011),” ujar Nina.
Semua kondisi di atas akhirnya punya pengaruh, bukan hanya kepada ibu yang keguguran. Namun juga kepada suami, anak (kakak), juga orang-orang di sekitar ibu. Contoh akibat, ibu yang keguguran sakit hati dengan kata-kata teman sehingga malas berteman lagi. Atau bahkan si kakak jadi korban kemarahan ibu