REPUBLIKA.CO.ID, BANYUWANGI -- Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, akan menggelar Festival Gandrung Sewu, Sabtu (29/11). Festival digelar di di Pantai Boom, Banyuwangi.
Sebanyak 1.200 penari akan tampil membawakan Tari Gandung, tarian khas Banyuwangi yang telah ditetapkan sebagau 'Warisan Budaya tak Benda' oleh pemerintah.
Lalu, apa sebenarnya tari Gandung?
Pertunjukan kolosal ini akan diawali dengan munculnya beberapa lelaki yang membawa penjor. Mereka adalah mantan prajurit Blambangan yang tengah berusaha mengumpulkan rekan seperjuangannya di masa lalu.
Setelah terkumpul beberapa orang, mereka menasbihkan diri sebagai Gandrung Marsan (Gandrung laki-laki). Kemunculan Gandrung Marsan ini tepat pada masa pemerintahan bupati ke-5 Banyuwangi, yakni Bupati Pringgokusumo.
Pada awalnya, penari Gandrung memang dibawakan seorang laki-laki atau yang biasa disebut Gandrung Marsan. Lambat laun Gandrung berkembang dan lebih banyak dibawakan perempuan. Penari Gandrung perempuan pertama adalah Gandrung Semi.
Dalam Festival Gandrung Sewu, adegan munculnya Gandrung Semi diikuti ribuan penari gandrung berkostum merah yang menghambur dari berbagai arah dan kemudian menyatu di satu titik.
Sentuhan teatrikal akan kental saat adegan perebutan posisi sebagai gandrung, antara gandrung laki-laki dan gandrung perempuan.
Fragmen ini berlangsung hingga subuh tiba. Saat subuh datang, tiba-tiba mereka yang sedang bertarung tersadar akan kesalahannya. Kedua belah pihak memohon ampun pada Yang Maha Kuasa. Mereka menyadari bahwa menjadi gandrung adalah suratan tangannya, jadi harus dijalani, dan tak perlu diperebutkan.
Uniknya, karena bermakna permohonan ampun pada yang maha kuasa, properti yang dibawa para penari gandrung ini selain kipas adalah sapu lidi. Simbolisasi bersih-bersih diri dan mohon ampun ditunjukkan dengan sapu lidi yang mereka bawa.