Selasa 11 Mar 2014 14:16 WIB

Sehari di Tanah Raja Surgawi (3-Habis)

Liang batu yang dijadikan lokasi pekuburan di pekuburan Batu Lo'ko Mata, Batutumonga, Toraja.
Foto: Basrul Haq/Antara
Liang batu yang dijadikan lokasi pekuburan di pekuburan Batu Lo'ko Mata, Batutumonga, Toraja.

REPUBLIKA.CO.ID, Selesai melihat pekuburan di Goa Alam Londa, perjalanan bisa dilanjutkan ke dataran yang lebih tinggi, Batutumonga.

Perkampungan khas Toraja dengan rumah-rumah Tongkonan berusia tua hingga baru berselang-seling dengan hamparan sawah selama perjalanan mendaki ke lereng Gunung Sesean yang tingginya sekitar 2.100 mdpl hingga tiba di Batutumonga.

Siapa saja yang beruntung telah menjejakkan kaki hingga ke Batutumonga pasti mengakui keindahan alam Tana Toraja.

Perjalanan ke tanah raja-raja surgawi ini baru terasa lengkap setelah melihat sendiri keindahan bentang alamnya.

Alida Petronella van de Loosdrecht-Sizoo, istri Antonie Aris van de Loosdrecht--misionaris pertama yang tiba di Toraja sekitar 100 tahun lalu--, menyebut negeri raja-raja surgawi ini hampir seindah Swiss.

Rangkaian bukit kapur dengan latar belakang pegunungan lebih tinggi yang puncak-puncaknya tertutup awan begitu memukau hati.

Sementara terasiring persawahan yang menutupi sebagian besar lereng Gunung Sesean mengingatkan pada indahnya Tegalalang di Ubud, Bali.

Hanya kubur-kubur batu di sepanjang jalan di lereng Gunung Sesean, seperti Kubur Batu Loko Mata, yang membedakannya dengan terasiring Bali.

Batutumonga juga punya banyak tongkonan tua. "Malah sepertinya lebih tua dari yang di Kete Kesu," ujar Edy, tukang ojek yang hari itu merangkap menjadi pemandu wisata.

Menurut dia, setiap keluarga Toraja harus membangun Tongkonan lengkap dengan Alang. Karena berbeda dengan rumah-rumah tradisional di daerah lain, rumah tradisional ini tidak pernah akan punah selama orang Toraja masih ada.

Saat waktu makan siang tiba, perut bisa diisi di restoran atau warung-warung makan sambil menikmati keindahan bentang alam Tana Toraja di Batutumonga.

Atau sekedar menikmati kopi Toraja sambil menyaksikan pemandangan teras siring persawahan berseling atap-atap khas Tongkonan yang menyembul dari lebatnya pepohonan di lereng dan lembah Gunung Sesean.

Batutumonga terasa begitu hening. Waktu terasa begitu bersahabat, berjalan pelan dan damai. Tidak ada ketergesaan.

Setelah puas menikmati Dataran Tinggi Toraja, perjalanan menuruni lereng Gunung Sesean bisa dilakukan menggunakan sepeda motor, menyusuri pinggir Sungai Sadan menuju Desa Sadan Malimbong, pusat tenun di desa tersebut.

Pada hari Sabtu di akhir pekan pertama Februari, pusat tenun Toraja begitu senyap, nyaris semua kios tutup.

Beberapa lapak bukan tutup karena libur melainkan tutup selamanya karena bagian dalamnya kosong dan berdebu.

Aktivitas hanya terlihat di kios milik nenek Ratih (85). Seorang gadis berusia 16 tahun bernama Asni sedang menenun menggunakan alat tenun tradisional.

Sudah hampir empat hari dia menenun dan paling tidak dia butuh satu bulan lagi menuntaskan apa yang sedang dikerjakan.

Nenek Ratih yang sudah hampir 20 tahun tidak menenun karena kedua kakinya sakit hanya duduk di kursi dan mengajarkan cara menenun yang baik kepada Asni sambil menunggui kiosnya yang sepi pengunjung.

"Mungkin tempat ini terlalu jauh dari Rantepao, jalannya pun tidak begitu bagus. Oleh karena itu, turis-turis jarang ada yang mau mampir," kata Edy.

Di kios Nenek Ratih yang sepi, perjalanan sehari untuk mengenal tanah raja-raja surgawi berakhir. Tapi petualangan untuk menyelami Tana Toraja juga bisa dimulai dari sini.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement