REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kamis (28/11), Gigi melanjutkan perjalananya di London, Inggris. Sebelumnya, Gigi telah merampungkan proses live recording di Abbey Road Studio. Kali ini Gigi mengunjungi sejumlah tempat yang menjadi ikon kota London. Bukan sebagai "peziarah" tapi wisatawan. Wisatawan dengan tugas khusus; membuat footage dan foto-foto sebagai sisipan video klip dan bahan pembuatan buku.
Gigi dan rombongan berangkat pukul 9 pagi dari apartemen, jalan kaki menuju stasiun kereta bawah tanah di Glochester. Dengan tube, semacam MRT atau subway, menuju London Bridge, jembatan yang sering digunakan sebagai tempat pembuatan film box office.
Sebelum menuju ke tepi sungai Thames Gigi menyempatkan sarapan di Pret. Pengunjung sangat padat. Personel Gigi akhirnya duduk di luar sambil menahan dingin yang mencapai 5 derajat celcius.
Nissa dan kekasihnya, Yan, bergabung di sini. Sebagaimana sebelumnya diceritakan, Nissa adalah guide rombongan kami. Juga seorang penggemar Gigi asal Surabaya bernama Almas, bonek sejati yang telah empat tahun tinggal di London. Almas ikut kami sepanjang perjalanan hari itu. Dengan demikian jumlah total rombongan menjadi 20 orang.
Selain suporter militan Persebaya, si Almas juga penggemar Gigi yang militan. Ia mengaku mengikuti berita kunjungan kami ke London dan mencegat kami di jembatan London hari ini. Ia mengaku terdampar di London tahun 2009 setelah menonton pertandingan Manchester United. Almas juga tahu sejarah Gigi, dan pernah mencoba menemui saat manggung di Surabaya, tapi tidak berhasil.
Karena Almas, rombongan jadi lebih meriah karena dia punya banyak cerita. Percakapan dilakukan dengan bahasa Indonesia dan Jawa dengan logat Surabaya yang kental. Di London Almas tinggal di Wilesden Junction.
Dari London Bridge Gigi bergeser ke Big Ben, gedung parlemen Inggris. Ini juga ikon kota yang banyak digunakan sebagai tempat pembuatan film. Sebenarnya rombongan bisa berjalan menyusuri Sungai Thames, tapi akhirnya memutuskan untuk naik tube. Turun dari tube kemudian menyusuri tepi sungai Thames.
Ada semacam pasar kaget menyambut Natal yang menjual makanan dan hiasan Natal, juga ada artis yang mengamen, berpose seperti Mr Bean, Chalie Chaplin, dan pasukan penjaga gerbang istana. Dengan melempar koin satu pound ke dalam kotak uang, Thomas dan beberapa teman lain berfoto dengan Mr Bean kw 2.
Di ujung Pasar Natal, sebut saja begitu, berdiri London Eye, semacam bianglala di Dufan, tapi ukurannya berkali lebih besar. Di antara bangunan abad pertangahan yang anggun dan megah, menjulang London Eye di tepi sungai Thames. Rombongan tidak naik karena antrean sangat panjang. Kami meneruskan perjalanan hingga ke kaki jembatan menuju Big Ben di seberang sungai.
Dari sana kami kembali turun ke dalam tanah, dengan tube, menuju ke Green Garden dan Istana Buckingham. Sekitar 30 menit di sana, kami kembali ke tube, menuju ke daerah Soho. Tempat hiburan, belanja, dan makan yang terkenal sebagai tujuan wisata.
Hari sudah pukul 2:30. Kami makan siang direstoran Cina. Untuk pertama kalinya rombongan merasa makanan enak, cocok di lidah Asia. Setelah itu acara bebas.
Rombongan kembali dan sampai di apartemen sekitar pukul tujuh malam. Meskipun sudah kelelahan, Budjana, Dhani, Adib, dan Arya, mengatakan mereka sempat pergi menonton Bob Dylan di Royal Albert Hall. Tiket yang harganya 65 dan 85 pound per lembar sudah habis, jadi mereka beli di calo seharga 100 pound.
Bob Dylan sepertinya cuma menjual nama bukan permainan. "Mainnya biasa saja, apa adanya. Tapi kita tidak bisa mengharapkan pertujukan seperti ini sebagai suatu yang megah," kata Budjana.
Sementara itu Armand, Hendy, Dino, dan Rama dengan ditemani Nissa dan Yan pergi ke Winter Wandeland, pasar malam Natal di Hyde Park. "Bagus banget, kentang gorengnya enak, yang jaga juga cantik-cantik," kata Armand.
(Bersambung)