REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggagas Java Jazz Festival (JJF), Peter F. Gontha mengungkapkan, keberhasilan JJF dimulai dari rasa ketidakpercayaan musisi internasional terhadap Indonesia.
Dunia melihat Indonesia sebagai negara yang ekstrem dan tidak aman. Maklum saja, kala itu JJF dimulai di awal tahun 2005, usai terjadinya tragedi tsunami Aceh dan bom Bali 2. Penolakkan pun tak bisa dielakkan.
"Saat itu kita undang James Brown. Sebagai tamu di festival pertama kita bayar sangat mahal," kata dia di Jakarta, Rabu (6/11).
Demi meyakinkan musisi jazz dunia ini, Peter menyiapkan berbagai strategi diplomasi. Salah satunya menyiapkan petugas Densus 88 sebagai pengawal musisi besar ini.
Sekarang setelah satu dekade mewarnai musik Indonesia, siapa yang tak kenal dengan Java Jazz Festival. JJF bahkan berhasil menginspirasi pagelaran musik sejenis di Tanah Air dan di mancanegara.
"Java Jazz sebuah festival internasional yang mendatangkan dunia ke Indonesia," ujarnya.
JJF pernah mengantongi rekor MURI sebagai "Festival Jazz Terbesar di Dunia" di tahun 2010. Di tahun 2013, JJF berhasil menarik sebanyak 112 ribu penonton datang ke JIExpo Kemayoran, Jakarta. Dengan jumlah panitia sebanyak tujuh ribu orang.
JJF juga menjadi 'tempat lahirnya' sederet musisi Indonesia. Sebut saja Raisa, Maliq & D'Essentials, Lala Karmela, Soulvibe, Barry Likumahuwa Project dan lainnya.
Kini, perhelatan JJF bukan lagi sekadar konser musik tahunan. JJF menurut Peter, menjadi ajang promosi Indonesia terhadap dunia. JJF menjadi acara ke-3 dunia yang paling banyak di-streaming melalui Youtube.
Jazzin' Up Diplomacy mengurai cerita tentang keberhasilan Java Production melobi musisi dunia.
"Java Jazz harus tetap bisa diteruskan. Jangan sampai berhenti, karena ini sebagai ajang promosi, ajang diplomasi," harap Peter.