Oleh Afifah Ahmad (Traveler)
REPUBLIKA.CO.ID, Siang menjelang sore, gelombang manusia masih membanjiri koridor pasar. Mereka lalu berdesakan di antara lorong-lorong berkubah yang saling terhubung. Inilah pasar sejati yang memiliki sejarah panjang. Hari ini menjadi pusat grosir terbesar yang menjual berbagai keperluan masyarakat.
Ada lorong yang khusus menjual kain, sepatu, perhiasan, karpet, dan sebagainya. Karena luasnya kompleks pasar ini, pengunjung harus menentukan dulu barang yang akan dibelinya, sebelum tersesat di lorong-lorong itu.
Sebenarnya, untuk memudahkan, di beberapa bagian area dibangun terminal metro. Jadi, pengunjung bisa langsung menuju lokasi yang dicari tanpa harus bersusah payah.
Karena ingin melihat-lihat karpet tradisional Iran, saya masuk kembali ke terminal Panzakhurdad dan turun di terminal Khayyam. Pintu pasar karpet hanya terletak beberapa meter dari pintu keluar metro.
Di komplek inipun, pengunjung tak kalah banyak dengan lokasi pasar utama. Turis-turis me rasa belum ke Iran kalau belum menyambangi tempat ini.
Tumpukan karpet warna-warni mulai mengundang selera sejak memasuki gerbang pasar. Semakin ke dalam, mata pengunjung kian dimanjakan oleh berbagai motif dan jenis karpet. Tentu bukan sembarang karpet. Hanya karpet buatan tangan yang dijual di sini.
Tangan tangan lentur seniman selama berbulan-bulan memintal barang berharga ini. Saya jadi teringat karpet yang luasnya puluhan meter yang terpajang di museum karpet, tak terbayang berapa lama mereka memintalnya.
Sementara para pemilik toko sedang menghitung laba, calo-calo karpet memainkan jurusnya untuk memikat pembeli. Tapi, bagi saya ini adalah kesempatan emas untuk mengorek keterangan tentang karpet Iran.
Karena umumnya, para calo ini dibekali ilmu perkarpetan yang memadai. Banyak di antara mereka yang juga fasih berbahasa Inggris. Banyak informasi yang saya peroleh tentang seluk-beluk karpet tangan Iran.
Harga karpet buatan tangan bervariasi, tapi umumnya jauh lebih mahal dari karpet mesin. Tingkat harga dipengaruhi oleh bahan dasar, kerapatan, kombinasi warna, dan daerah asal. Karpet dari bahan sutera bisa mencapai ratusan juta riyal. Sebaliknya, yang berbahan dasar wol masih bisa dijangkau.
Setiap provinsi di Iran memiliki corak dan motif sendiri, seperti Kashan, Tabriz, Qom, dan Mashhad. Kata penjual yang saya temui di sini, karpet Qom harganya paling mahal. Selain karpet yang dijadikan alas, lukisan karpet juga termasuk benda yang paling dicari para turis.
Berbagai gambar lukisan bisa ditemui dari mulai kaligrafi sampai Monalisa. Namun, harganya tetap akan membuat kening kita berkerut.
Sedikit yang membuat saya bernapas lega, saat melihat-lihat karpet bekas. Kondisi karpetnya masih cukup bagus, karena para pedagang ini mereparasi kembali karpet-karpet yang dibelinya.
Karpet itu dicuci dengan cara yang khusus agar warna tetap cerah dan tali-tali bagian ujung diperbaiki kembali. Saya sempat diajak untuk melihat tempat reparasi karpet itu. “Kalau mau beli karpet jangan terburu-buru. Anda bisa telepon dulu, harga dan model karpet apa yang Anda cari?” tanya salah seorang penjual karpet itu panjang lebar.
“Kalau Anda sudah bosan, saya akan membelinya kembali”, tambahnya sambil menyodorkan kartu nama. Sambil meninggalkan lorong pasar, hati saya berkata, “Sudah seperti perhiasan saja nilai karpet di sini.”