REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Arif Satria (Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB)
Follow : @arif_satria
Biasanya sebuah konferensi internasional diadakan di sebuah kota besar. Namun kali ini konferensi International Association for Study of the Commons (IASC) 2013 diadakan di sebuah kota kecil di kaki Gunung Fuji. Orang jepang menyebutnya Fujisan, yang di Indonesia lebih dikenal dengan Fujiyama. IASC ini adalah organisasi yang didirikan Elinor Ostrom, peraih Nobel Ekonomi, tahun 2010 yang pada tahun 2012 meninggal dunia. IASC berhubungan dengan isu-isu sosial-ekonomi-budaya dan politik terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Ratusan ilmuwan seluruh negara hadir mempresentasikan temuan-temuannya.
Dengan menempuh perjalanan dua jam dengan bis dari Shinjuku-Tokyo, sampailah di Fujiyoshida, kota kecil dengan panorama Gunung Fuji. Transportasi lokal sangat jarang, sehingga harus kemana-mana harus dengan jalan kaki atau taksi. Taksi di Jepang sangat mahal, hampir tiga kali lipat tarif taksi Indonesia. Terpaksa biaya transportasi membengkak karena selama seminggu harus pulang pergi dengan taksi. Meski panitia menyediakan bis, banyak orang sering ketinggalan bis karena sopir bis yang sangat disiplin soal waktu, sementara para peserta masih asyik diskusi dan networking.
Ada beberapa catatan kecil seputar konferensi di Fujisan ini. Pertama, sungguh menarik konferensi di Fujisan karena udara masih bersih dan suasana sangat sepi, diapit dua danau yang indah, Kawaguchiko dan Yamanaka, disertai panorama gunung fuji dengan secuil salju di puncaknya membuat suasana sangat damai. Sungguh terngiang-ngiang lagu Furusato yang menggambarkan suasana kampung halaman di Jepang. Sisi lain Jepang yang “ndeso” ini makin terlihat. Kendati kotanya sangat kecil namun infrastruktur sungguh luar biasa: jalan, hotel, restoran, dan toko-toko swalayan. Nampaknya itu adalah infrastruktur standar.
Kedua, baru kali ini saya mengikuti konferensi di Jepang yang menyediakan makan siang, meski hanya udon atau sandwich. Padahal Jepang tidak biasa menyediakan makan siang untuk peserta seminar atau konferensi. Pada tahun 2008, ada 5thWorld Fisheries Congress di Yokohama, dan peserta dari Eropa dan Amerika terkaget-kaget karena sudah membayar sekitar 40 ribu yen (Rp 4 juta) tapi tidak disediakan makan siang. Peserta harus mencari makan sendiri-sendiri ke restoran. Peserta yang tidak bisa berbahasa Jepang sungguh kerepotan.
Apalagi kalau hanya sekedar seminar nasional atau lokal. Tradisi tidak menyediakan makan siang ini barangkali perlu ditiru. Karena umumnya kalau mengadakan seminar, hal yang paling repot adalah soal konsumsi. Kita selalu disibukkan dengan urusan makan ini. Ternyata Hongkong juga sama. Saat ini saya sedang di Hongkong untuk Asian Summit on Higher Education. Ternyata makan siang juga tidak disediakan. Terpaksa harus ke kantin atau restoran yang cukup membuat tubuh berkeringat.
Ketiga, bagi akademisi, konferensi bukan hanya ajang berbagi ilmu atau hasil penelitian, tapi juga untuk bangun jaringan. Tentu saya senang sekali karena beberapa orang Barat mengirim email ke saya jauh sebelum konferensi untuk sekedar minta waktu ketemu di sela-sela konferensi. Ini adalah buah dari hasil menulis buku Managing Coastal and Inland Waters (Springer, 2010) dan beberapa artikel di jurnal internasional. Buku yang saya edit bersama ilmuwan top Kenneth Ruddle ternyata cukup banyak dibaca para ilmuwan lain di dunia ini. Buku tersebut juga merupakan hasil pertemuan informal dengan Ruddle di sela-sela konferensi IIFET (International Institute of Fisheries Economics and Trade) tahun 2009 di Vietnam.
Pada saat di Jepang itu pun penerbit dari Belanda juga berdatangan menawarkan penerbitan untuk karya-karya saya. Padahal saya masih merasa karya-karya saya biasa-biasa saja. Jadi, konferensi hampir selalu membawa hasil sampingan yang lumayan. Karena itulah mestinya para akademisi kita rajin mengikuti konferensi sehingga bisa merasakan hasil sampingan yang kadang bisa lebih besar dari itu.