Oleh Erik Purnama Putra
REPUBLIKA.CO.ID, Sebelum memasuki ruang diorama pertama di Museum Sangiran, Jawa Tengah, saya disambut dengan tingkah Merak Jawa (Pavo Muricus) yang tampak gelisah dengan kedatangan pengunjung.
Saya meneruskan langkah menuju tempat pemajangan fosil binatang purba. Beragam tulang terpampang dengan gamblang. Hanya saja tertulis pesan agar pengunjung tidak menyentuh fosil tersebut agar kondisinya terjaga dan usianya lebih awet.
Suasana ruangan berukuran 3×6 meter itu hening. Hanya kami berdua pengunjung pertama museum. Di tengah sepi, saya menuju tiga temuan fosil terbaru koleksi museum.
Tiga benda itu terdiri dua fosil gajah purba dan tanduk kerbau yang diletakkan di lemari kaca sebelah kiri dari pintu masuk.
Fosil tulang gajah purba ditemukan Parmin pada 14 Januari 2013, dan rahang bawah gajah purba ditemukan Witorejo pada 24 November 2012 di Dusun Grogolan, Desa Manyarejo, Kecamatan Plupuh, Sragen.
Di Sangiran, dulunya hidup tiga jenis gajah, yaitu Mastodon, Stegodon, dan Elephas yang hidup pada era 700 ribu tahun lalu. Mastodon adalah gajah paling primitif di Sangiran dengan gading yang panjang dan memiliki ciri tubuh lebih pendek.
Demikian pula halnya Stegodon. Panjang gading gajah purba ini bisa mencapai lima meter dengan bentuk melengkung. Hal itu terlihat pada fosil gading yang dipajangkan di museum ini.
Sedangkan, Elephas adalah spesies gajah modern dengan gading yang pendek. Bentuknya hampir mirip gajah Sumatra. Hanya saja, ketiga spesies gajah itu telah punah, dan gajah yang hidup sekarang tidak terkait dengan ketiga spesies itu.
Adapun, Pak Subur menemukan fragmen tengkorak dan tanduk kerbau purba di Dusun Pucung, Desa Dayu, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar pada 25 Mei 2012. Karena ditemukan di Formasi Kabuh, rentang kehidupan binatang sejenis ini diperkirakan pada 800 hingga 250 ribu tahun lalu.
Temuan kepala reptil dari keluarga buaya, seperti gavialidae yang memiliki panjang tubuh berukuran 3,5 sampai 6,2 meter dengan berat 159-181 kg, dan crocodylidae dengan panjang tubuh mencaspai 6,2 meter dan memiliki berat badan 1.200 kg.
Begitu pula dengan fosil banteng purba (bibos paleosandaicus), rusa purba (cervus hippelaphus), dan kerbau purba (bubalus paleokarabau) yang hidup pada era 300-700 ribu tahun lalu. Fakta itu tentu menjadi pegangan betapa kehidupan manusia dan binatang di Sangiran bisa selaras.
Periode 500 ribu tahun lalu, menurut Harry, dapat dikatakan sebagai masa keemasan Sangiran. Pasalnya, manusia dan binatang purba hidup berdampingan secara selaras di lingkungan terbuka yang berada di antara dua gunung api dengan aliran sungai dan danau di sekitarnya.
Dengan aneka ragam fauna yang sangat kaya raya, manusia purba mulai memanfaatkan bebatuan untuk diasah sebagai alat berburu hingga meramu.
Menyusuri lebih dalam lagi, dipampang beragam fosil manusia purba beserta peralatan untuk berburu, bagian tubuh binatang purba, hingga tumbuh-tumbuhan yang hidup pada masa tersebut. Selain itu, terdapat fosil hewan bertulang belakang, binatang air, tumbuhan laut, serta beragam alat yang terbuat batu dengan beragam manfaatnya.
Harry menjelaskan, fosil yang ditemukan di Situs Sangiran menyumbang 65 persen temuan manusia purba di Indonesia, dan 50 persen temuan fosil dunia. Mengacu temuannya, situs di Sangiran mencakup kehidupan manusia tanpa terputus sejak era 2 juta hingga cikal bakal manusia modern.
Bukti peninggalan pada era Pliosen akhir hingga Pleistosen Tengah bisa didapatkan di sini. Semua fosil yang ditemukan menunjukkan, adanya keragaman kehidupan manusia, binatang, dan tumbuhan purba yang hidup sejak era 2 juta hingga 200 ribu tahun lalu.
Hebatnya, kata dia, dari beragamnya fosil itu membuat para ahli bisa merangkai sebuah susunan kehidupan sejarah yang terjadi di Sangiran secara berurutan.
Hal itu wajar mengingat koleksi fosil yang tersimpan di museum mencapai 13.806 buah, yang terbagi dua tempat. Terdiri dari 2.931 fosil disimpan di ruang pameran, dan 10.875 di dalam ruang penyimpanan yang tidak dipertontonkan untuk umum.
Data itu terus bertambah karena penemuan fosil oleh tim peneliti maupun masyarakat terus berlangsung. “Temuan fosil sekarang baru sekitar 30 persen, dan 70 persen sisanya diperkirakan masih berada di dalam lapisan tanah,” kata Harry.
Sehingga, ia tidak ragu mengklaim, wilayah Sangiran memiliki nilai historis sangat tinggi karena mengungkap sejarah kehidupan paling lengkap di dunia. Karena dianggap sebagai kawasan paling bersejarah se-Asia, organisasi bidang pendidikan dan kebudayaan PBB, Unesco menganggap Sangiran sebagai kawasan World Heritage (warisan dunia) nomor 593.