REPUBLIKA.CO.ID,Oleh : Arif Satria (Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB)
Follow: @arif_satria
Kushimoto menjadi tempat penting. Bukan seperti Kyoto yang kaya akan sejarah peninggalan Jepang sehingga menjadi obyek wisata. Atau Tokyo yang kaya akan pusat keramaian. Kushimoto bisa menjadi sejarah baru tidak saja bagi Jepang, tapi juga bagi dunia. Betapa tidak, Kushimoto kini dikenal sebagai pusat budidaya ikan tuna. Tuna yang selama ini harus ditangkap kini bisa dibudidayakan di laut. Karena itu untuk mendapatkan tuna berukuran 30 kg tidak perlu harus berjuang melalui alat tangkap long line atau purse seine, tetapi cukup dengan menyediakan karamba di pesisir. Bila harga mencapai 150 ribu yen atau sekitar 15 juta rupiah per ekor, maka panen untuk 400 ekor per keramba mencapai 6 milyar rupiah. Dengan komponen pakan sekitar kurang lebih 40 persen, maka keuntungan pertahun mencapai 1,2 milyar, atau Rp 100 juta/bulan. Pertanyaannya, apakah mungkin dikembangkan di Indonesia, sehingga nelayan kita yang mayoritas skala kecil bisa menikmati keuntungan yang luar biasa seperti itu?
Apa yang terjadi di Jepang tersebut bukan tiba-tiba, tapi merupakan proses panjang dari kondisi kultural dan struktural di Jepang. Kultur disiplin, kerja keras, dan tekun bukan hanya monopoli nelayan tetapi juga akademisi. Mereka tahu banyak tentang sedikit. Bandingkan dengan kita yang seringkali tahu sedikit tentang banyak. Artinya, konsistensi profesionalitas adalah modal utama inovasi, dan inovasi adalah modal kemajuan.
Begitu pula kerjasama antara lembaga riset pemerintah, universitas, dan koperasi perikanan juga sangat kuat. Belum lagi dukungan pemerintah untuk nelayan. Pemerintah memberikan hak penuh kepada koperasi untuk mengelola pesisirnya. Juga, memberikan dukungan asuransi perikanan dan sejumlah bantuan lainnya.
Jadi, maju mundurnya perikanan adalah masalah manusia. Inilah yang harus dibenahi: kualitas sumberdaya manusia, kemampuan kerjasama dan koordinasi, ketangguhan berorganisasi dalam wadah koperasi nelayan, serta sikap rasa saling percaya antar instansi dan antar nelayan. Apa arti teknologi dan hasil riset yang canggih kalau kultur dan struktur tidak kondusif. Jadi, budidaya tuna tersebut bukanlah hal sulit secara teknis. Yang sulit adalah bagaimana membuat nelayan mengadopsi inovasi ini, bagaimana menciptakan penyuluh perikanan yang handal, bagaimana lembaga riset kita bisa bekerjasama dengan nelayan, bagaimana pemerintah menciptakan instrumen regulasi untuk melindungi nelayan, dan seterusnya. Dan, Jepang sudah membuktikan itu.