REPUBLIKA.CO.ID, Si kecil menangis sejadi-jadinya di depan rak permen di supermarket. Bocah berumur dua tahun itu tantrum, mengentak-entakkan kakinya, dan memukul-mukul paha Anda.
Ulah si kecil mengundang ekspresi keras di wajah orang yang lewat. Seolah ia mengatakan, Ayo, pegang kendali, Bu! Yang lain menyeringai pasif. Mereka berasal dari paradigma yang menyarankan kita mengabaikan atau menghukum si kecil atau mungkin menenangkan anak.
Dari banyak riset, kata Marion Badenoch Rose PhD, kita sekarang tahu bahwa anak-anak yang diperlakukan seperti itu akan tumbuh dalam kebingungan. Mereka bingung tentang perasaan mereka dan tak bisa memahami dengan jelas kebutuhan mereka, kata peneliti dan penulis hubungan ibu-anak itu dalam Understanding Children’s Feelings.
Rose mengacu pada pendekatan Aletha Solter, peneliti dan pendiri The Aware Parenting Institute, yang menawarkan pendekatan baru kepada anak. Yakni, berusaha memahami perasaan anak.
Banyak orang percaya bahwa kita membantu anak menyingkirkan luka di hatinya cukup dengan mengatakan Jangan sedih, Nggak apa-apa, Jangan takut.
Menurut Rose, ketika kita mencampuradukkan menenangkan anak dengan berempati, kita sama saja tidak mengakui perasaannya. Di saat dewasa ia bisa menjadi orang yang mengabaikan barometer internalnya dan mengabaikan juga perasaan orang yang dekat dengannya, kata peneliti Cambridge University itu.
Ayah bunda merespons perasaan anak dalam cara yang ekstrem dengan cara:
Mengabaikan -Ayah tinggal kalau Adik tetap nakal begini.
Menghukum -Ibu bikin kamu nangis beneran kalau tidak bisa diam juga.
Meremehkan -Berhenti menangis, sekarang!
Kontradiksi -Ayo, nggak perlu dibujuk, main sana!
Mencemoohkan -Ayo, nangis saja, dasar bayi!
Respons orang tua itu membuat suatu proses dalam diri anak. Anak-anak kemudian belajar takut pada emosi dan semakin menekan penilaian terhadap perasaannya sendiri, katanya Rose.
Padahal, anak memiliki kebutuhan cinta dan empati yang besar. Ia akan mengubur perasaan yang dialaminya. Ini kemudian mengarah pada gejala berikutnya; rendah diri, ketergantungan, dan depresi.
Empati melibatkan perasaan memahami orang lain. Komunikasi tanpa kekerasan versi psikolog AS Marshall Rosenberg menawarkan satu cara berempati. Ketika kita merasa anak kita sedang merasakan sesuatu, kita bisa bertanya, Apakah kamu merasa , karena kamu sedang memerlukan ? Misalnya, Apakah kamu merasa kecewa karena kamu betul-betul ingin bermain?
Cukup dengan kehadiran dan berempati pada anak yang sedih membuat ia tahu dan memercayai dirinya sendiri. Anak menerima cinta sepenuhnya karena semua perasaannya diakui. Ia merasa diterima. Keintiman antara ayah-bunda dan anak akan tumbuh berkembang, kata Rose